Sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial, saya banyak diajarkan bagaimana melakukan penelitian sosial. Saya diperkenalkan dengan pendekatan-pendekatan yang biasa digunakan oleh para pakar penelitian sosial dalam memahami pola, mengenal sistem, mengurai makna, dan mengukur struktur suatu masyarakat di mana penelitian itu dilaksanakan. Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada dengan serius menjadikan metode penelitian sebagai aspek pengetahuan yang penting bagi mahasiswa-mahasiswanya. Terhitung ada 6 mata kuliah yang secara khusus membantu setiap mahasiswa untuk mengenal ragam pendekatan dan metode penelitian dalam disiplin ilmu sosial. Di sana lah saya diajarkan berbagai macam pendekatan untuk mengeksplorasi realitas secara ilmiah, tidak terkecuali metode-metode penelitian yang kerap ditemukan dalam disiplin imu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sastra, sejarah dan lain sebagainya. Mulai dari observasi, wawancara, dan dokumentasi dalam studi-studi empiris, maupun eksplorasi-eksplorasi tekstual dan teoritis dalam studi-studi interpretatif yang bersifat abstrak. Melalui bekal ini, saya merasa percaya diri bahwa penelitian lapangan yang dilaksanakan bisa dilalui dengan mudah. Tidak lain karena saya merasa pengetahuan metode penelitian yang selama ini diperoleh dari bangku universitas mampu menunjang dan cukup mumpuni sebagai bekal proses penelitian. Saya menilai bahwa metode-metode eksplorasi yang selama ini dikenal dalam penelitian sosial mampu mempelajari dunia anak-anak di Pesantren Abata dengan mudah.
Saya adalah mahasiswa yang datang dari dunia akademik untuk melakukan penelitian lapangan tentang anak-anak di Pesantren Abata. Datang dengan tumpukan pengetahuan dan akumulasi frame berpikir tentang dunia anak-anak dan pendidikan dari kampus. Saya mengira melakukan penelitian pada anak-anak semudah melakukan penelitian pada orang dewasa, bahkan lebih mudah. Saya menganggap anak-anak belum layak untuk dilihat sebagai individu kompleks karena belum banyak menemukan benturan-benturan sosial dalam kehidupannya, cukup dengan memahami kode-kode perkembangan yang universal maka saya bisa menarasikan bagaimana sebenarnya dunia anak-anak dan dunia sosial di sekitarnya dalam konteks ini yaitu anak-anak di Pesantren Abata. Saya akhirnya pergi ke lapangan dengan bekal itu, berharap melakukan penelitian dengan mudah dan mampu mengeksplorasi dunia anak-anak di Pesantren Abata dengan baik.
Dari awal proses penyusunan proposal atau pra-lapangan hingga akhirnya turun ke lapangan, saya optimis mampu mengeksplorasi dunia anak-anak secara langsung dengan upaya-upaya yang lebih bersifat fenomenologis. Melalui asumsi-asumsi yang otomatis tertanam dalam pikiran saya oleh akumulasi teori dan pengetahuan tentang dunia pendidikan terutama berkaitan dengan dunia anak-anak. Datang dengan akumulasi pengetahuan yang mengendap dalam pikiran membuat saya merasa mampu memahami dunia anak-anak. Menilai secara langsung bahwa Pesantren Abata sebagai pendidikan liberation bagi dunia anak-anak dan mengira mampu mengeksplorasi realitas melalui teknik-teknik eksplorasi konvensional yang selama ini dikenal seperti indepth interview dan partisipasi secara langsung. “Cukup mengajukan pertanyaan dan mendengarkan jawaban dari anak-anak maka secara metodologis peneliti akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dunia anak-anak”, cara kerja inilah yang saya jadikan pegangan untuk melakukan penelitian pada anak-anak. Cara kerja yang diyakini hingga hari ini mampu menjelaskan dunia anak-anak secara ilmiah.
Sampai pada suatu momen akhirnya seluruh pegangan, penilaian, perkiraan, dan perasaan di awal yang terbentuk dalam pikiran seorang mahasiswa ilmu sosial melalui sejumlah besar pengetahuan dan akumulasi frame berpikir yang membentuk diri saya pada saat itu, runtuh oleh kenyataan di lapangan. Runtuh seruntuh-runtuhnya saat saya menyadari bahwa ternyata penelitian tersebut tidak benar-benar mampu untuk memahami dunia anak-anak yang sebenarnya. Jangankan sampai pada tahap memahami, untuk mengeksplorasi data dan mengumpulkan ide-ide serta perspektif anak-anak saja, saat itu tidak bisa dilakukan oleh peneliti. Hari-hari berjalan begitu cepat, kesia-siaan penelitian semakin terlihat jelas disaat saya menyadari sudah menghabiskan waktu selama satu bulan tinggal bersama anak-anak dan belum mendapatkan apapun. Proses in depth seperti yang dibayangkan penelitian mainstream sama sekali tidak bisa mendapatkan apapun. Jarak antara peneliti dan subjek penelitian semakin lebar, ketidakpercayaan, dan ketakutan yang dialami oleh anak-anak dari kehadiran saya di lapangan menjadi bukti bahwa metode in depth yang selama ini diperkenalkan dalam perkuliahan tidak dapat bekerja secara maksimal.
Saya kebingungan dan anak-anak ketakutan. Proses wawancara tidak berjalan seperti yang dibayangkan di awal. Anak-anak ketakutan. Anak-anak seperti kesulitan untuk menangkap maksud pertanyaan, kemudian kesulitan untuk mengekspresikan ide-ide dan perspektifnya tentang apa yang saya tanyakan. Penelitian tidak bisa bekerja sebagaimana apa yang selama ini diajarkan oleh universitas, salah satunya karena proses eksplorasi data tidak dapat berjalan secara optimal. Hambatan menjadi sangat kompleks oleh karena penelitian ini sangat tidak mengerti bagaimana seharusnya melakukan penelitian terhadap anak-anak yang belum mampu secara optimal mengekspresikan ide-idenya. Ditambah, perbedaan antara peneliti dan subjek penelitian benar-benar tidak dapat dimengerti oleh penelitian-penelitian sosial yang selama ini diperkenalkan. Saya merasakan kesia-siaan, dan mencium bau kegagalan dalam melakukan penelitian. Sampai pada suatu momen yang tidak akan pernah terlupakan.
Gambar Anak-anak dalam Penelitian (Story Box) Pada suatu waktu saya melihat beberapa anak memiliki ketertarikan lebih pada aktivitas menggambar, menulis, bermain, dan bercerita satu sama lain. Ada satu momen yang tidak bisa terlupakan ketika pertama kali saya melakukan aktivitas menggambar dan akhirnya mengundang perhatian dari dua anak. Dua orang anak tersebut tampak sangat tertarik dengan aktivitas menggambar terutama ketertarikannya terfokus pada apa sebenarnya yang sedang saya gambar. Saya menyelesaikan sebuah gambar sketsa ruangan kelas tempat mereka belajar. Saya menunjukan gambar itu pada mereka kemudian salah satu dari mereka menunjuk pada sebuah gambar dan berkata dengan artikulasi yang sangat tidak jelas “ini kursi”, saya mengangguk. Setelah itu saya merobek dua lembar buku gambar tersebut dan membagikannya kepada mereka satu-satu tentu disertai dengan alat gambar lainnya. Kita bertiga menggambar bersama-sama dengan suasana yang sunyi. Ketika salah satu anak menyelesaikan gambarnya, dia berusaha menunjukkannya dan seperti mengajukan sebuah pertanyaan ‘apa ini’. Gambarnya tampak seperti sebuah rumah dan meja, untuk membuat dia lebih tertarik saya pura-pura tidak tahu. Saya terus menggelengkan kepala pura-pura tidak tahu bentuk apa yang sedang dia tunjukan dari gambarnya. Sampai akhirnya saya mengerti ternyata dia sedang bercerita sesuatu yang berhubungan dengan kelas, belajar, dan tempat di mana aktivitas menulis dan belajar itu dikerjakan. Ternyata saat itu saya melakukan sebuah kesalahan yang sangat penting yaitu ketika berkomunikasi dengan mereka terlalu fokus pada suara yang dihasilkan, alih-alih fokus pada gerak mulut, gestur tubuh dan ekspresi yang dilakukannya saat berbicara. Saat itu saya sangat menikmati aktivitas menggambar yang kami lakukan. Tidak hanya menggambar, tetapi saya mendapatkan pengalaman berharga bagaimana anak-anak dengan kepolosannya bercerita dan mengajari saya tentang apa yang dia gambar pada saat itu. Tidak salah jika menilai mereka sedang mengajari saya tentang nama-nama benda dengan sebuah cerita otentik yang berhubungan dengan benda-benda yang digambarnya karena pada kenyataannya demikian. Saya sedang belajar dari anak-anak melalui apa yang mereka gambar dan apa yang mereka ceritakan tentang apa yang mereka gambar. |
Cerita itu adalah catatan dari pengalaman saya di lapangan yang sekaligus memberi inspirasi bagi proses kreatif dalam usaha menemukan jalan keluar dari keadaan buntu yang saya alami saat penelitian di lapangan. Suatu kebuntuan yang disebabkan oleh beberapa kondisi yaitu: Pertama, proses wawancara tidak dapat berjalan dengan optimal karena anak-anak kesulitan menangkap maksud dari setiap pertanyaan yang saya ajukan sekaligus kesulitannya dalam mengekspresikan ide-ide dan perspektifnya terkait maksud dari pertanyaan yang ditangkapnya. Sebuah situasi penelitian yang sangat kompleks. Situasi di mana secara komunikatif, saya dan anak-anak berbeda. Hambatan komunikatif mempengaruhi proses in depth dalam penelitian secara nyata. Kedua, proses observasi dan pendalaman tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam situasi demikian, saya benar-benar kebingungan dan anak-anak ketakutan sehingga saya tidak mendapatkan kepercayaan dan berujung pada terhambatnya proses pendalaman.
Kedua proses itu adalah bagian utuh yang tidak bisa ditinggalkan dari keseluruhan proses eksplorasi sebagai usaha untuk memahami perspektif anak-anak secara komprehensif. Lebih jauh lagi, dua hal itu merupakan bagian dari keutuhan sistem kerja penelitian partisipatif di lapangan. Terhambatnya dua proses tersebut artinya terhambat pula seluruh proses penelitian partisipatif di lapangan. Dalam situasi yang buntu itulah pengalaman menggambar bersama dengan anak-anak di Pesantren Abata menjadi pendorong upaya kreatif untuk melakukan adaptasi terkait teknik eksplorasi data dalam proses penelitian ini. Dengan melibatkan aktivitas-aktivitas yang dekat dengan dunia dan budaya anak-anak di Pesantren Abata seperti menggambar, menulis, bermain, dan sebagainya ke dalam proses pengumpulan data, saya berusaha menjadikan penelitian ini bersifat kontekstual. Tidak hanya kontekstual secara teoritis, juga kontekstual secara teknis. Keputusan untuk melibatkan aktivitas menggambar dalam proses interview bertujuan untuk memaksimalkan proses eksplorasi perspektif dari anak-anak tentang dunia mereka dan dunia pendidikan di sekitarnya. Meskipun pada saat itu saya tidak terlalu yakin apakah yang dilakukan ini tercatat sebelumnya dan bisa dibenarkan dalam mainstream penelitian sosial. Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah media-media tersebut membantu proses eksplorasi dalam penelitian ini terutama karena aktivitas-aktivitas tersebut sangat dekat dengan dunia dan budaya anak-anak.
Tidak seperti penelitian-penelitian mainstream pada anak-anak, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang spesifik dan kontekstual. Terutama dalam proses eksplorasi data sosiologis di lapangan. Dari empat anak-anak yang menjadi subjek penelitian ini, keempat-empatnya dieksplorasi secara partisipatif melalui media yang spesifik. Eksplorasi data dilakukan dengan melihat situasi kompleks setiap anak dan bersama-sama dengan mereka menemukan akses untuk masuk ke dalam pengalamannya secara individual, tentu saja satu dengan yang lainnya berbeda. Maka untuk mendokumentasikan pengalaman belajar dari empat anak-anak, saya menggunakan empat media eksplorasi yang berbeda-beda. Pada kenyataannya saya tidak bekerja dengan teknik-teknik eksplorasi yang didesain sendiri oleh saya berdasarkan pengetahuan yang dibawa dari kampus tentang bagaimana melakukan penelitian kualitatif secara partisipatif. Saya melakukan eksplorasi melalui metode kontekstual dan didesain dari aktivitas yang sebenarnya diciptakan oleh anak-anak itu sendiri. Dengan kata lain, penelitian ini ingin mengakui bahwa salah satu teknik penting dalam sebuah penelitian yakni teknik eksplorasi data tidak didesain oleh peneliti secara sepihak, tetapi didesain bersama dengan anak-anak itu sendiri. Setiap anak-anak berdasarkan kompleksitasnya mengilhami pendekatan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Memahami realitas melalui mata anak-anak itu sendiri dan bersama-sama dengan mereka menemukan akses untuk mengeksplorasi pengalaman belajarnya secara komprehensif. Dengan kata lain, penelitian ini seharusnya disebut sebagai penelitian ‘bersama’ anak-anak di Pesantren Abata, bukan penelitian ‘terhadap’ anak-anak di Pesantren Abata.
Istilah ini bagi saya sangat penting karena berkaitan dengan bagaimana seharusnya anak-anak ditempatkan dalam sebuah penelitian sosial. Perbedaan antara peneliti dan anak-anak di sebagai informan utama menuntut upaya-upaya kontekstual terutama berkaitan dengan teknik-teknik eksplorasi data. Teknis eksplorasi dalam sebuah desain penelitian partisipatif menentukan bagaimana penelitian tersebut bekerja dan selanjutnya menentukan seberapa dalam penelitian tersebut mampu mengungkap realitas serta ke arah mana penelitian tersebut bergerak. Dalam logika penelitian yang selama ini kita kenal, teknik eksplorasi data atau serangkaian proses yang digunakan untuk mengumpulkan data sosiologis dan menggali realitas selalu didesain langsung oleh sang peneliti atau tim pakar metode penelitian. Persoalan lahir dalam bentuk yang sangat kompleks yaitu apakah teknik-teknik eksplorasi data yang didesain oleh peneliti dapat digunakan secara optimal atau justru menjadi sebab suatu penelitian menjadi apriori dan tidak mampu mengungkap realitas yang sesungguhnya secara komprehensif. Persoalan inilah yang menjadi alasan bahwa penelitian seharusnya mampu menyadari kompleksitas anak-anak. Bagi penelitian partisipatif dengan informan utamanya adalah anak-anak kontekstualitas teknik eksplorasi data menjadi sangat penting untuk didiskusikan.
Isu kontekstualitas dalam diskursus metodologi harus dipikirkan ulang, terbukti dalam perkembangannya terjadi perubahan-perubahan penting yang bersifat paradigmatis berkaitan dengan bagaimana seharusnya sebuah metode penelitian bekerja secara tepat dalam keseluruhan sistem produksi pengetahuan. Bekerja secara tetap artinya mampu digunakan dengan baik, terhindar dari situasi apriori yang mengasumsikan anak-anak secara universal dan menegasikan kondisi spesifik baik secara kognisi, afeksi, maupun konasi. Anak-anak hidup berdampingan dengan budaya, struktur nilai, dan proses sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dan mempengaruhi kondisi spesifiknya. Melihat anak-anak berdasarkan konteksnya yang spesial dan spesifik merupakan suatu premis yang mempertanyakan sekaligus mendekonstruksi universalitas perkembangan anak. Tidak hanya mempertanyakan desain-desain teknis dari keseluruhan proses produksi pengetahuan yang tidak relevan dengan situasi berbeda di mana anak-anak itu tinggal, pengalaman ini juga mendorong saya untuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan terkait relevansi teoritis dari sebuah pendekatan penelitian untuk anak-anak selama ini, termasuk penelitian yang saya lakukan itu sendiri.
Pengalaman ini juga menciptakan ketegangan lain yang saya rasakan yakni bahwa terdapat celah kesenjangan antara konsep perkembangan psikologis yang digunakan sebagai kerangka berpikir dengan kondisi anak-anak sesungguhnya yang sangat spesifik dan kompleks. Kompleksitas yang salah satunya terbentuk oleh keunikan dunia, dan keragaman situasi di mana mereka hidup. Suatu fenomena yang logis apabila penelitian ini meragukan relevansi dari teori-teori perkembangan psikologis yang cenderung menganggap anak-anak secara universal, frame yang berpijak pada premis universalitas perkembangan anak-anak akan menciptakan pemahaman yang dangkal tentang dunia anak-anak itu sendiri. Sudah sepatutnya ilmu pengetahuan melihat perbedaan ini, perbedaan yang tumbuh dalam latar kultural, latar sosial, dan politik di mana anak-anak tersebut hidup. Nampaknya pengalaman ini merupakan fenomena penting yang sedang dan terus berlangsung dalam dunia pendidikan universitas. Dunia akademik yang secara kurikulum sangat lazim melatih para mahasiswa untuk ‘membaca’ buku-buku teks, namun pada kenyataannya buku-buku tersebut tidak benar-benar ‘dibaca’, lebih karena tetap membiarkan adanya dikotomi dan kesenjangan antara teks dan konteks itu sendiri. Dalam situasi ini saya benar-benar merasa terkejut, karena setelah empat tahun hidup dalam dunia abstrak di mana universitas menjadi semacam ‘Lauhul Mahfudz’ tempat purifikasi pengetahuan-pengetahuan tentang dunia anak-anak terjaga dengan baik, tiba-tiba saja terlempar ke dalam dunia empiris tempat tersimpannya kompleksitas dunia anak-anak yang sulit untuk dimengerti oleh saya.
Penulis adalah mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada yang menggeluti minat studi dunia anak-anak kontemporer. Saat ini penulis sedang menyusun tugas akhir dalam topik Anak-anak Disabilitas. Minat penelitian yang dimiliki oleh penulis terkait isu-isu Sosiologi Masa Kanak-kanak, Disabilitas dan Budaya Inklusi. Penulis bisa dihubungi melalui yogi.maulana.wahyudin@mail.ugm.ac.id.
Leave a Reply