Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kelas pun berakhir. Berada di luar ruangan dan menghirup udara segar rasanya begitu melegakan setelah dua jam berada di dalam kelas ber-AC. Aku sudah berencana ke perpustakaan usai kuliah.
Di perjalanan, tanpa sengaja aku melihat seorang kenalan sedang duduk sendirian. Kuhampiri dia dan menyapanya. Namanya Martius. Uus, begitu kami biasa memanggilnya. Uus termasuk teman yang misterius. Mungkin karena dia lebih suka menyendiri dan sedikit tertutup. Terkadang, dia juga melontarkan pernyataan yang terasa ganjil.
“Aku tidak menyukai perempuan,” katanya suatu hari saat kami sedang mengobrol santai.
Aku memilih untuk tidak menanggapinya. Karena menurutku, dia bukannya tidak menyukai perempuan, melainkan enggan berurusan dengan perempuan.
Lain hari, ketika kami mengobrol tentang kakak tingkat kami yang terlalu cepat menyelesaikan studi, Uus malah menyatakan keinginan yang berlawanan.
“Aku tidak mau cepat-cepat lulus lalu bekerja di perusahaan,” ucapnya. Aku hanya mengangguk mendengarkan.
“Aku ingin belajar terus. Kalaupun bekerja, aku maunya jadi guru. Atau jadi penjaga perpustakaan juga tidak apa. Nggak masalah gajinya kecil,” sambungnya.
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk. Aku berbeda dengan Uus. Maksudku, aku ingin segera lulus. Banyak hal yang memaksa aku untuk berpikir demikian.
Seringkali dalam hidup, kita mengkhawatirkan terlalu banyak hal yang belum terjadi. Namun, Uus berbeda. Menurutku, dia ingin memilih jalan yang tidak banyak ditempuh orang lain. Meski aku akui, aku juga menginginkan hal yang sama seperti yang didamba Uus.
Seperti Uus, sebenarnya aku juga tidak ingin terlalu tergesa-gesa terjun ke dunia kerja. Namun, keinginan itu dipatahkan oleh keadaan keluargaku. Sebagai anak sulung, aku merasa aku tidak boleh bersikap egois dengan hanya memikirkan keinginanku saja. Maka aku pun memikul tanggung jawab, juga harapan dari kedua orang tuaku. Ini yang membedakan aku dari Uus. Dia anak tunggal dalam keluarganya.
Aku teringat Frank Sulloway, si penulis buku ‘Born to Rebel: Birth Order, Family Dynamics, and Creative Lives’. Dalam bukunya itu, Sulloway menjelaskan bahwa perbedaan tindakan yang diambil seseorang (baca: kepribadian) terletak pada posisi atau kedudukannya di dalam keluarga. Meski secara biologis orang tua menurunkan sifat-sifat genetika kepada anak-anak mereka, akan tetapi urutan kelahiran sangat memengaruhi sifat dan karakteristik anak.
Frank Sulloway melakukan riset hampir dua puluh tahun lamanya, dengan menggali data biologis lebih dari enam ribu orang. Riset ini memberi pengaruh terhadap revolusi sejarah dan sains. Tidak cukup sampai di situ, Frank juga meninjau ulang seratus sembilan puluh enam studi mengenai efek dari urutan kelahiran. Hasilnya, anak sulung cenderung konservatif, yang berarti bahwa mereka mencoba mempertahankan status quo-nya. Sementara anak bungsu, di sisi lain, kerap menjadi pemberontak yang radikal. Temuan Frank juga menyebutkan jika sulung cenderung bersikap seperti bos.
Lantas bagaimana halnya dengan anak tunggal atau anak tengah? Frank, merujuk temuannya, menyebutkan bahwa anak tunggal dan anak tengah lebih unik. Hal tersebut dikarenakan anak tunggal umumnya tidak terpapar oleh persaingan antarsaudara (sibling rivalry), sehingga menjadi sedikit sulit untuk menebak kepribadian mereka. Demikian juga halnya dengan anak tengah; mereka bisa saja memiliki ciri sebagaimana yang dimiliki oleh anak pertama atau anak terakhir.
Temuan Frank Sulloway menyebutkan bahwa ciri anak di masing-masing urutan lahir, salah satunya ditentukan oleh bagaimana anak tersebut mendapatkan perhatian di dalam keluarga. Orangtua yang diskriminatif akan menyebabkan persaingan yang lebih ketat. Persaingan ini dinilai wajar dan telah terjadi sejak manusia ada di bumi.
Frank juga menyepakati apa yang disampaikan Darwin dalam survival of the fittest. Persaingan dinilai sebagai bagian proses kreatif perkembangan anak menjadi individu yang unik.
Akan tetapi, pertanyaannya, apakah urutan kelahiran bisa menentukan kepribadian individu?
Menurut saya, bukan urutan kelahiran yang menjadi penentu seperti kata Frank, melainkan gender dan latar belakang sosial dan ekonomi keluarga.
Mahasiswa Jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Leave a Reply