Ceki si Cicak Batu yang Cerdik

Ceki si Cicak karya Della Naradika
Ceki si Cicak karya Della Naradika

Suatu siang di bebatuan di tengah hutan, tidur seekor cicak batu bernama Ceki. Ceki memang selalu tidur di siang hari dan hanya berkeliaran di waktu malam, sama seperti temannya si Kelelawar dan si Musang. Di tengah tidurnya, Ceki dibangunkan oleh suara tangisan.

“Siapa ini yang menangis siang-siang, mengganggu tidurku saja,” keluh Ceki.

Ceki merayap keluar dari persembunyiannya dan mencari tahu asal suara tangisan itu. Di atas batu, Ceki menemukan Epri—si burung emprit sedang menangis. Di paruhnya tercapit kepingan cangkang telur. “Hiks hiks hiks, anak-anakku,” tangis Epri.

Ceki merasa iba, “kenapa kau menangis, Pri?”

“Pohon tempatku bersarang ditebang manusia,” Epri bercerita kepada Ceki.

“Sarangku jatuh dan semua telurku pecah,” kata Epri. Tangis Epri semakin kencang, tangis seorang ibu yang kehilangan anaknya.

Di tengah percakapan, mereka dikejutkan oleh Moki si monyet yang mendekat tergesa-gesa. Moki bergelayutan dengan terburu-buru di dahan-dahan pohon. Ia seperti sedang dikejar-kejar sesuatu.

 “Moki, berhenti! Apa yang terjadi?” tanya Ceki penasaran.

“Manusia sialan, kurang ajar!” Umpat Moki.  

“Ada manusia menebang pohon-pohon dahu. Persediaan makananku bisa habis kalau begini,” Moki kesal.

“Mereka juga menebang pohon-pohon lain,” lanjut Moki

“Keterlaluan!! Kalau pohon-pohon ditebang dan musim hujan datang, rumah kita bisa diterjang banjir,” Ceki ikut kesal.

“Bagaimana ini? Sepertinya kita harus meminta pertolongan Gamba,” ajak Moki.

Ceki, Moki, dan Epri lalu mendatangi Gamba si gajah.

***

Keesokan harinya, ketika para manusia datang dan hendak menebang pohon di hutan, Gamba muncul di hadapan mereka. Melihat Gamba, mereka lari terbirit-birit. Para binatang bersorak gembira merayakan kemenangan.

Tapi tak berselang lama, manusia itu datang lagi. Kali ini mereka membawa senapan.

“Dorrr!! Dorrrr!!” Mereka menembaki Gamba. Gamba berlari terbirit-birit masuk ke dalam hutan. Ceki, Epri, dan Moki menyusul, ikut kabur.

“Manusia itu licik dan kejam,” kata Epri.

“Kalau begini caranya, bagaimana mungkin kita tidak bisa mengalahkan mereka,” lanjut Gamba. Mereka terlihat putus asa, kecuali Ceki.

“Aku punya rencana, teman-teman,” kata Ceki.

“Rencana apa?” mereka serentak bertanya.

“Gamba, bisa tolong pindahkan batu besar yang ada di pinggir sungai itu ke depan pohon besar yang mau ditebang manusia itu,” pinta Ceki kepada Gamba.

Gamba, Moki, dan Epri penasaran dengan rencana Ceki.

“Manusia tidak akan takut dengan batu,” kata Moki.

“Benar. Batu itu rasanya bisa dipindahkan oleh tiga orang manusia,”Gamba menambahkan.

“Percayalah padaku, teman-teman,” Ceki meyakinkan teman-temannya.

***

Keesokan harinya, Ceki mengumpulkan semua teman-temannya sesama cicak batu. Ceki mengajak mereka menempel di batu besar yang sudah dipindahkan Gamba. Tak lama kemudian, manusia-manusia itu datang. Mereka melihat sebuah batu besar menghalangi pohon yang hendak mereka tebang. Beberapa di antara mereka mencoba memindahkan batu tersebut. Ceki dan teman-temannya serempak melompat ke arah mereka. Manusia-manusia itu kaget. Mereka ketakutan sehingga tak sempat berpikir. Mereka mengira diserang batu terbang. Kulit Ceki dan teman-temannya yang berwarna gelap menyerupai warna batu, berhasil mengelabui manusia-manusia itu.

Mereka lari terbirit-birit sambil berteriak, “Hantu-hantu!!! Pohon itu berhantu. Hutan ini ada hantunya!” Setelah kejadian itu, tak ada lagi manusia yang berani masuk ke dalam hutan dan menebang pohon yang ada di sana. Para hewan bisa hidup dengan tenang dan damai.

Alfiandana
Lahir di Klaten. Suka jalan-jalan lalu tersesat sendirian. Sejak kecil berkeinginan bisa bicara dengan binatang, terutama kodok.