Ada tiga hal yang paling tidak disukai Lomok.
PERTAMA, sakit gigi,
KEDUA,perlakuan bidan puskesmas yang tak berperasaan itu,
KETIGA, perkataan Ibunya—ya sudah, terserah!
Kau pasti mengira daftar ini aneh, karena tak ada nama Ayah di dalamnya. Meski sudah jelas semua itu disebabkan oleh permen dan Ayahnya. Tapi bagi Lomok, Ayahnya tidaklah bersalah, justru kebalikannya. Ketika ia menderita sakit gigi, Ayahnya punya jalan keluar sendiri, sedangkan Ibunya hanya punya jalan buntu—bawa ke dokter saja.
Ayahnya tidak perlu alat-alat bidan yang menakutkan itu, lampu sorot besar, serta obat yang baunya sama menyengatnya dengan pesing kencing kuda. Sekitar pukul duabelas malam, Lomok menangis di kamarnya mirip rengekan si Jalu, membuat orang seisi rumah terbangun. Kedua kakaknya tampak jengkel, mereka berbarengan keluar dari kamar, mengucek-kucek mata dengan wajah yang mengantuk, dan saling bergantian berbisik mengejek Lomok, “Uh, dasar cengeng.”Dari arah dapur Ibunya tampak begitu tenang melangkah, membawa baskom kecil berisi air hangat yang sudah digarami, dan menyuruh Lomok lekas berkumur. Tapi Ayahnya mendadak mengambil selembar kertas, pulpen, sebungkus kapas, sebiji paku, dan minyak tanah dalam cangkir kecil. Kedua kakaknya serempak menggaruk kepala, sementara Lomok duduk melongo di kursi di ruang santai, menatap benda-benda itu diletakkan di atas meja.
Kau mungkin berpikir bagaimana cara ayah Lomok menyembuhkan sakit giginya? Jangan kira kalau selembar kertas dan pulpen itu untuk membuat semacam resep, lalu menyuruh kedua kakaknya membeli obat ke warung. Atau barangkali kau mengira bahwa kapas, sebiji paku, dan minyak tanah itu untuk sesuatu yang mengerikan. Tidak, Ayahnya tidaklah sekonyol atau setega itu. Seketika Ayahnya menarik kursi lain, dan duduk mendekat. Lomok agak terkejut. Mereka saling berhadapan. Tangan kiri Ayahnya mulai mencengkeram pelan rahang Lomok agar menganga, lalu memeriksa giginya yang berlubang. “Hmm… geraham bawah,” gumam Ayahnya. Seperti gerak-gerik seorang ahli, tangan Ayahnya menyematkan sejumput kapas ke ujung sebatang paku, kemudian memilinnya hingga kira-kira seukuran lubang di gigi Lomok. Kedua kakaknya hening menyaksikan gelagat Ayah mereka yang janggal. Ibunya berdiri di sebelah, seolah-olah sebagai asisten Ayahnya. Lomok duduk mematung, bola matanya bergerak tidak tenang. Ia merasa detak jantungnya seakan sudah naik di kerongkongan. Paku itu pun sudah persis pentol pengorek telinga, lalu dicelupkan ke dalam minyak tanah. Ayahnya sedari tadi berkata-kata tidak jelas, seakan bicara entah kepada siapa, terdengar seperti dengungan borong-borong. Lomok semakin dibuat terkesima, sampai-sampai ia lupa merengek. “Aaaaa…,” kata Ayahnya. Mulut Lomok langsung celangap. “Tahan sebentar,”sambung Ayahnya. Ia hanya mengiyakan seperti orang gagu menjawab.
Kemudian paku-pentol-kapas-pengorek itu disurukkan ke lubang gigi Lomok, diputar-putar seperti putaran baut yang aus di lubang mur. Kedua kakaknya semakin garuk-garuk kepala melihat praktik penyembuhan gigi tersebut. Apalagi Ibu mereka sudah mirip penonton paling heboh di tengah-tengah pertandingan tinju di televisi, yang bersikeras menyemangati Lomok. Situasi ini mirip sekali dengan di saat menonton tayangan itu, tapi biasanya Ayah merekalah yang sering ribut di depan tivi, bukan Ibu. Apakah Lomok kesakitan? Sebetulnya tidak sakit-sakit amat. Kau tahu bagaimana rasanya saat mencungkil secuil daging di sela-sela gigi hingga gusi berdarah? Atau kau yang terlalu keasikan ngurek telinga dengan bulu ayam? Nah, seperti itulah yang dirasakan Lomok saat itu—agak geli, sakit, tetapi sekaligus nikmat.
Syaratnya harus tujuh kali korekan, ucap ayah Lomok. Setelah itu Ayahnya menuliskan angka tiga pada kertas dengan membuat dua lingkaran di bagian atas dan bawah angka itu, artinya gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Ayahnya meminta lem kertas. Kedua kakak Lomok saling menyuruh di antara mereka dan tampak kebingungan. Untunglah Ibu mereka cekatan sebagai asisten praktik pengobatan gigi yang aneh itu dan langsung beranjak ke kamar Lomok. Gerak-gerik Ibu mereka seperti setrika panas yang seketika itu juga sudah berada di dekat pintu.
Ayah lalu naik ke atas kursi, memegang kertas, mengolesinya dengan lem, dan menempelkannya di atas kusen pintu depan rumah. Ambilkan palu, itulah titah terakhir Ayahnya, hingga napas Ibu mereka terdengar ngos-ngosan karena masuk-keluar dapur. Setelah paku-pentol-kapas-pengorek itu dipalu tiga kali, ya harus tiga kali, Lomok seakan merasakan keajaiban saat itu juga. Rasa sakit di gigi busuknya lenyap sekejap. Ia tersenyum, terheran-heran sendiri dengan wajah begonya. Sakit gigi bagi Lomok hampir sama dengan hukuman cambuk lidi tiga batang dari Ibunya sewaktu ia ketahuan bolos sekolah. Meski berkali-kali tersedu-sedu memohon ampun di kaki ibunya, ia masih juga mengulanginya dan tak mau jera. Jadi antara ulat-ulat di giginya dan sifat kepala batunya memiliki kemiripan.
Jam praktek dadakan itu akhirnya selesai. Kedua kakaknya kembali ke kamar, berjalan terhuyung-huyung karena mata mereka sudah teramat berat, dan badan pun lemas. Ayahnya memapah Lomok ke tempat tidur. Ketika melewati cermin di dinding dekat pintu kamarnya, Lomok terheran melihat pipinya bengkak. Mukanya berubah cemberut. Ayahnya merasa kasihan, dan pelan-pelan membujuk sambil mengusap-usap punggungnya.
“Ini kenapa bengkak, Yah?”
“Tidak apa-apa. Besok juga hilang.”
“Betul kan, Yah?”
“Iya. Sekarang kamu tidur, ya.”
“Oh iya, Yah. Dari mana Ayah belajar mengobati sakit gigi.”
“Hmmm….”
“Kok enggak sama kayak dokter gigi?”
“Dulu… kakekmu mengajari Ayah. Kata kakekmu, itu warisan dari leluhur. Datu Bira, namanya.”
“Oh…” Lomok mengangguk pelan.
“Kamu tahu tabib?”
“Iya, tahu, Yah.”
“Nah, sebelum ada dokter, merekalah yang menyembuhkan orang-orang yang sakit.”
“Kok, mereka, Yah.”
“Ya, tidak cuma satu orang. Dan di setiap desa mempunyai Datu.”
“Oh… jadi panggilannya Datu.”
“Nah, mereka punya semacam kitab lama dari kulit kayu. Di situlah semua ramuan obat ditulis.”
“Wahhhhh…”
“Semua ramuan obat itu berasal dari tumbuh-tumbuhan.”
“Wahhhhh…”
“Dan segala macam penyakit bisa disembuhkan.”
“Sakit apa saja, Yah?”
“Ya, bermacam-macam, sampai penyakit aneh sekalipun.”
“Penyakit apa itu, Yah?”
“Seperti kesurupan Hantu Ganjang, Hantu Pendek. Hantu Seram, juga Hantu Bodoh. Dan yang terakhir, Hantu Pencontek.”
“Memangnya orang dulu suka menyontek, Yah?”
“Hahahaha… Ayah bercanda. Lagipula jaman dulu belum ada sekolah.”
“Huuuu…”
“Ayah cuma mau mengingatkan saja. Jangan suka mencontek di sekolah, ya. Nanti Ayah ejek kamu, Hantu Bodoh, atau Hantu Pencontek. Mau?” Ayahnya menarik selimut hingga ke leher Lomok. “Nah, kapan-kapan Ayah ceritakan, ya. Sekarang kamu harus tidur, karena nanti pagi Ayah harus kerja.”
“Baik, Yah. Tapi Ayah janji menceritakannya, ya?” Ia meraih bantal guling dan mengapitnya di antara kedua kaki dan lingkar lengannya. Kemudian Ayahnya mematikan lampu dan menarik daun pintu sampai tinggal sedikit celah.
Leave a Reply