Anarko Book Faith: Orasi di Dalam Puisi

Seno Gumira Ajidarma pernah bilang, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra yang berbicara.”

Saya ingin menambahi–jika bukan menyanggah–bahwa jurnalisme yang dibungkam hari ini sesungguhnya tidak ada, atau hampir tidak ada. Yang ada: jurnalisme yang membungkam dirinya sendiri, menutup mulutnya sendiri.

Caranya bisa macam-macam. Bisa dengan sengaja tidak menayangkan suatu peristiwa politis yang bersangkut paut dengan penguasa, bisa dengan “pura-pura” tidak tahu bahwa ada suatu kejahatan atau kebobrokan yang semestinya diungkap dan disiarkan, atau bisa pula menampilkannya dengan kemasan yang tak semestinya.

Masih ada, memang, sebagian jurnalis yang sesungguhnya tidak ingin bungkam. Namun mereka justru dibungkam oleh atasan mereka (pimpinan redaksi dan/atau pemilik modal perusahaan). Perusahaan media sendiri pun sebetulnya juga masih ada yang tidak ingin bungkam, namun karena alasan pragmatis mereka memilih membungkam diri.

Lalu, betulkah sastra bisa menggantikan tugas jurnalisme itu? Harusnya bisa. Bahkan sangat bisa. Namun rupanya, sastra, sampai sejauh ini, setidaknya yang terpantau oleh saya, belum benar-benar bertindak sebagaimana yang diharapkan.

Sejauh yang terlihat oleh saya, kebanyakan karya sastra, terutama yang tampil di media massa (koran dan media online) yang notabene ada medium produk jurnalistik, belum melakukan tugas yang diharap-harapkan. Seperti halnya reportase, mereka tersensor oleh media yang bersangkutan. Begitu juga yang sudah terbit dalam bentuk buku. Yang saya lihat, kebanyakan karya sastra yang ada di Indonesia lebih cenderung berkutat pada “keasyikan sendiri”, yakni pada gaya dan bentuk, dan sering luput menggarap hal-hal yang mestinya disuarakan.

Keadaan ini membuat sastra menjadi sama nasibnya seperti jurnalisme tadi: ada yang dibungkam (ditolak media massa karena mungkin mengandung suara perlawanan; dan kebetulan media yang bersangkutan adalah media yang membungkam dirinya sendiri), dan ada pula yang dengan sengaja membungkamkan diri.

Namun, berbeda halnya dengan jurnalisme yang laku “membungkam diri sendiri”-nya dilakukan oleh institusi secara struktural, pelaku pembungkaman diri sendiri di dalam sastra tidak lain tidak bukan adalah si pembuat karya sastra itu sendiri secara individu (penulis, pengarang, penyair, dll.).

Fakta inilah yang membuat kita miris. Jika sastra saja sudah bungkam (membungkam diri sendiri), apa lagi yang bisa kita harapkan untuk menggantikan tugas jurnalisme?

Untunglah Zeffry Alkatiri tidak terseret dalam arus itu. Dalam buku puisi terbarunya yang bertajuk ‘Anarko Book Faith’, penyair yang juga pengajar ini dengan lantang menyuarakan hal-hal yang mungkin luput disuarakan (atau, sekali lagi, sengaja diluputkan) oleh para jurnalis atau media massa di berbagai belahan dunia. Hal-hal yang dimaksud adalah kejahatan kemanusiaan, ketidakadilan, penindasan, genosida, kesemena-menaan, hegemoni satu ideologi yang menindih dan membunuh ideologi yang lain, klaim-klaim rasial yang menganggap ras sendiri lebih unggul dari ras lain, dan lain sebagainya.

Tidak sekadar mengungkap, Zeffry menyampaikannya dengan “suara” yang keras. Seperti orasi. Dan suara lantang itu bahkan langsung terdengar sejak dari puisi pertama yang ditulisnya dalam buku ini, “Kami Bukan Anne Frank”. Bait-bait yang ditulisnya sebagai bentuk simpatinya terhadap orang-orang Palestina yang menjadi korban kejahatan perang Israel itu menyuarakan semacam seruan perlawanan, bahwa anak-anak Palestina–tak seperti orang-orang Yahudi yang bersembunyi ketakutan di masa kekuasaan Nazi–tidak gentar sama sekali.

Kami anak-anak sebaya lelaki dan perempuan

Lebih memilih turun ke jalan

Menghadang bedil tentara

Bahkan tank baja.

Yang menarik, Zeffry agaknya senang menyorot apa yang hendak disuarakannya melalui sudut pandang tokoh-tokoh pada masa hal itu berlangsung. Jika pada puisi tentang kejahatan manusia dalam perang Israel-Palestina ia mengaitkannya dengan sosok Anne Frank, pada kejahatan manusia yang dilakukan orang-orang kulit putih dari Inggris terhadap orang-orang Indian suku asli daratan Amerika Serikat ia meminjam “perasaan” Emily Dickinson, si gadis yang dikurung di kamarnya oleh orang tuanya yang patriarkis.

Emily melihat dari jendela rumahnya:

Serombongan tetangga baru pulang dari Gereja.

Di belakang mereka

Beberapa anak lelaki berpakaian ala koboi

Mengejar anak lelaki lain

Yang mengenakan pakaian Indian.

Bang Bang Bang…!!!

Teriak anak-anak koboi itu

Sambil menembakkan pistol mainan dari kayu.

Anak lelaki Indian seakan mati tak berdaya,

Sebagian menyerah kalah.

Emily hanya tersenyum,

Tapi ia tak kuasa menuliskan adegan itu

Atas peristiwa yang sesungguhnya,

Seperti diberitakan oleh surat kabar

The Boston Sunday Globe

Yang tergeletak di atas meja tulisnya.

Perlu dicatat juga bahwa apa yang diorasikan Zeffry dalam kumpulan puisi ini bukan hanya lintas-negara, tetapi juga lintas-waktu. Hal inilah yang sudah sepatutnya diharapkan dari sebuah karya sastra ketika dimaksudkan untuk menggantikan tugas jurnalisme yang acap kali hanya berpusat pada sesuatu yang bersifat kekinian.

Dua puisi yang saya kutip tadi sudah jelas termasuk di antaranya. Puisi lain yang juga menyuarakan sesuatu yang terjadi di masa lampau di antaranya adalah ‘Peta Palsu’. Puisi ini mencoba mempertanyakan sekaligus memergoki konsepsi tentang peradaban yang dibangga-banggakan oleh orang-orang Eropa yang “gemar” menjajah. Sebuah pertanyaan yang sangat menohok yang akan membuat wajah keturunan penjajah merah padam.

Nada orasi paling nyaring dalam kumpulan puisi Zeffry dapat disimak dalam puisi ‘Anarko Book Faith’ yang diangkat sebagai judul buku. Puisi yang saya kira akan cocok sekali jika dibacakan secara lantang pada Hari Buruh.

Paris, Seattle dan Washington tidak mampu

Mengubah dunia dan nasib kaum pekerja.

Seperti Guru Deva yang tak mengubah apa-apa.

Shut down your machine!

Ayo turun ke jalan!

Tanggalkan seragam kerja.

Jalanan adalah sekolah terbuka.

Jadikan arena depan gerbang pabrik

sebagai pentas pesta.

Tak cuma apa yang terjadi di luar negeri, Zeffry juga merangkum dan mengungkap beberapa masalah besar yang ada di Indonesia. Masalah-masalah yang seakan inheren dengan Indonesia itu sendiri. Suaranya dapat disimak antara lain dalam puisi ‘This is My Passport’ yang mengungkapkan keadaan Indonesia yang entah kapan bisa maju dan sejajar dengan negara-negara maju lain, ‘Sampai Kamisan Keberapa?’ yang mengkritik soal sikap pemerintah yang entah sampai kapan meminta maaf atas pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu, dan ‘The Lost of Indonesian Dream’ yang menyuarakan perihal mimpi bangsa yang hingga kini belum terwujud, termasuk mimpi-mimpi awal semacam mencerdaskan kehidupan bangsa dan merawat fakir miskin.

Apa yang disuarakan Zeffry dalam 45 puisinya dalam buku ini pada akhirnya menjadi angin segar asa bahwa, betapapun keadaan dunia ini tak akan pernah berubah, meskipun mungkin pembungkaman akan terus berlanjut, setidaknya suara perlawanan itu masih dapat kita dengar. Dan saya pikir, dengan napas seperti inilah mestinya puisi ditulis, utamanya menyangkut Indonesia yang bobrok ini.