“Suara apa itu, Ayah?” kata Ibunya dalam raut heran.
“Oh, cuma suara kuda,” Ibunya menirukan bicara kakeknya.
“Kuda siapa yang lepas, Ayah?”
“Tidak sekarang ceritanya, ya. Ayo, kita jalan lagi, biar cepat sampai ke rumah.”
“Setahu Ibu kuda hanya ada di perkampungan. Tidak di hutan,” Ibunya menerangkan kepada Lomok. “Setelah itu kakekmu tidak menjawab lagi. Dan suara itu terus mengikuti dari belakang. Mendekat… menjauh… mendekat lagi… menjauh lagi… Kakekmu setiap saat menoleh ke belakang, sambil bersuara seperti mengusir anjing atau ayam yang nakal, hus… hus… Ibu makin tidak tenang melihat tingkah kakekmu. Rasanya kaki Ibu ingin lari kencang, tapi kakekmu keburu menegur, Tetap di dekat ayah, Nak! Ibu tidak tahu sedang menghadapi apa. Hanya Kakekmu yang tahu. Ibu menurut, tapi sempat merengek. Ssssttt… Jangan nangis!” Ibunya mencontoh bentakan Kakek. “Berjam-jam Ibu panik, badan sampai gemetar, berkeringat, bernapas tidak keruan, jantung berdebar, dag.. dag.. dag.. dag.. Suara cekikikan itu terus mengejar, kikikikikikikikikik… Langkahkakekmu makin panjang, membuat Ibu terdorong makin cepat berjalan. Suara itu mengeras dan memelan, berpindah-pindah. Seketika ada di samping, kemudian memutar ke belakang kami. Ibu tersandung batu berkali-kali, sandal pun terlepas sekali-sekali. Dan sampailah kami bertemu perkampungan. Di situlah Ibu menangis sepuas-puasnya saat dipeluk kakekmu.”
Cara Ibunya memeragakan rengekan itu sungguh lucu.
TAPI WAJAH LOMOK MASIH TEGANG DAN PUCAT.
“Tidak tahu sudah jam berapa kami sampai di sana. Kakekmu mematikan api obor dan memasukkannya ke kantung tas anyaman. Kemudian menggendong dan membujuk Ibu. Ada tiga pemuda kampung melintas, dan menanyai Kakekmu karena tangisan Ibu. Tadi kami diganggu Sigulambak, kakekmu bilang ke mereka dengan pelan. Ibu bisa mendengarnya walaupun sedang tersedan-sedan. Eh, ketiga orang itu langsung cepat-cepat meninggalkan kami.”
CERITANYA BELUM SELESAI.
“Saat sampai di halaman rumah, Nenekmu membuka pintu. Kakekmu langsung membaringkan Ibu ke tempat tidur. Ibu ditemani mereka di kamar setelah kakekmu menaruh rantang dan tas pandan di dapur. Ibu masih terganggu, tapi berusaha keras menutup mata supaya bisa tidur. Dengan suara berbisik-bisik Kakekmu menceritakan semua kejadian seram itu.”
“Syukurlah kalian selamat,” sahut nenek dalam suara Ibunya.
“Di hari lain Ibu lambat laun tahu banyak tentang Sigulambak. Kata Kakekmu, itu adalah hantu jelmaan, kadang seperti kuda, kadang juga kambing. Sigulambak ternyata sangat suka sama anak-anak, mengajak bermain dan membawanya sampai ke hutan. Lebih ngerinya, kata tetangga, Sigulambak akan mengambil jantung anak-anak sesudah digelitiki sampai mati,” tutup Ibunya dengan agak melebih-lebihkan akhir cerita itu pada Lomok.
Nah, karena cerita seram itulah peringatan Ibunya jadi semacam tanda darurat bagi Lomok, sama situasinya dengan bunyi pentungan peronda malam saat dipukul. Tapi kali ini kejadiannya di pagi hari, saat sakit giginya kambuh, saat ia jatuh pingsan (eh, berpura-pura pingsan). Lomok terperanjat seketika, duduk mendongak ke wajah Ibunya, mengeluh sambil menempelkan telapak tangannya di pipi. Ibunya pun berhasil membongkar tipuan Lomok.
“Kalau begitu kamu maunya apa?” kata Ibunya.
Lomok lama menjawab.
Maunya Lomok hanyalah Ayah. Tapi itu tidak mungkin karena Ayahnya sudah berangkat pukul enam pagi tadi, dan akan pulang sore nanti. Ditambah lagi kebiasaan membual Ayahnya di kedai kopi setelah pulang kerja, jadi kemungkinan bisa sampai ke rumah sesudah Lomok tidur pulas. Itu adalah penantian lama untuk gigi yang sakitnya sudah amat keterlaluan. Lagipula Ibunya tidak bakal mau susah payah menyusul Ayahnya di tempat kerja untuk mengatasi masalah yang tidak begitu darurat.
“Kita ke dokter gigi saja, ya?” tanya Ibunya lagi.
Memang seperti itulah Ibunya, tidak punya saran yang cemerlang. Seakan-akan dokter gigi adalah orang paling sakti dengan semua peralatannya yang mengkilat dan mengerikan itu. Padahal Ibunya sudah melihat bahwa Lomok sangat tersiksa ketika pertama kali ke dokter gigi. Lomok sangat merekam baik kejadian hari itu. Tentang ruangannya yang berbau menyengat seperti bau obat-obatan. Lalu sebuah lampu sorot besar yang melintang di atasnya ditopang tiang dan dapat diputar seperti gerakan leher seekor angsa. Dan satu lagi, sebuah meja di sampingnya untuk tempat bermacam benda yang tajam, runcing, bahkan yang serupa tang dan bor. Lomok tidak bisa mengelak, ia menuruti apa saja yang diperintahkan si perawat. Ia duduk setengah berbaring di sebuah kursi panjang, membuka mulutnya lebar-lebar, tanpa sekalipun memprotes, bahkan soal cahaya lampu yang mengganggu matanya. Berkali-kali kakinya tersentak, terkejang-kejang meluapkan rasa sakit saat giginya disentuh benda-benda aneh itu, hingga benar-benar tak bisa lagi menahan teriakan dan air matanya. Apa yang akan kau lakukan untuk melalui serangkaian siksaan itu? Kau pastilah langsung menangis. Ya, hanya itulah satu-satunya cara Lomok agar bisa mengatasinya.
Lomok sejenak termenung. Ada yang salah dengan perkataan Ibunya. Ia mengoreksi perkataan Ibunya.
“Bukan dokter gigi, Bu. Orang-orang yang berobat ke sana bilang, itu bidan, bukan dokter.”
“Tidak ada bedanya, yang jelas kamu sembuh, bukan?”
“Iya! Tapi tersiksa!” jawab Lomok dengan nada murung.
“Ketimbang dibiarkan sakit seharian, itu lebih menyiksa, bukan?”
“Tapi… tidak seperti Ayah mengobati gigiku.”
“Ya sudah terserah, tunggu saja sampai Ayahmu pulang.” [Bersambung …]
Leave a Reply