“Bapak, kapan sepeda saya diperbaiki?” tanya anak saya yang masih berusia enam tahun. Namanya Ardika Firdaus, tetapi emaknya (panggilan Ibu di suku Bugis) lebih menyukai nama Ardika Lentera. Emak Ardika lebih suka menggunakan Lentera setelah Ardika. Alasan emak Ardika, Ya biar saja, nama itu keren menurut saya meski di akta lahirnya tetap tertulis Ardika Firdaus. Tapi saya tidak ingin membahas panjang lebar soal nama. Mungkin lain kali saja. Kali ini, saya ingin bercerita tentang Ardika dan sepedanya.
Jadi begini, pandemi Covid-19 menjadi momok menakutkan buat siapa saja. Dika, demikian Ardika sering disapa yang masih sekolah di bangku taman kanak-kanak harus menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah selama pandemi. Dan itu juga terjadi pada anak-anak lain di mana saja di seluruh dunia. Pihak taman kanak-kanak teman Dika bersekolah ikut imbauan pemerintah setempat untuk menutup segala kegiatan.
Dika tentu saja senang. Pasalnya, ia paling susah bangun pagi. Di awal kegiatan di rumah, ia bebas bermain dan bangun di atas jam sembilan pagi. Namun hal itu hanya berlangsung sekitar dua pekan. Ia lalu merasakan kebosanan dan rindu ke sekolah. “Mak, kapan Dika sekolah lagi? Bosan di rumah terus,” ujarnya suatu ketika.
Memasuki akhir Maret, guru Dika, melalui grup WhatsApp menyampaikan jika proses belajar tetap dilanjutkan tetapi tidak perlu ke sekolah. Semua dilakukan secara online melalui grup whatsapp. Guru Dika mengirimkan tugas melalui grup dan siswa mengerjakannya, kemudian dikirim kembali melalui grup.
Ya, namanya anak taman kanak, tugas belajarnya tentu saja masih mewarnai atau menyalin gambar yang diberikan. Pengiriman tugas belajar bisa berupa foto dan video. Di awal proses belajar dari rumah itu, Dika antusias mengerjakan tugas yang diberikan hingga akhirnya dia merasa bosan. Pasalnya, saat jadwal mengerjakan tugas dari gurunya bertepatan dengan riuh anak bermain di depan rumah. Sehingga Dika tidak bisa berkonsentrasi.
Tetapi persoalan lain muncul ketika Dika ikut bermain bersama teman-teman sebayanya itu. Dika terlihat tersisih. Anak-anak asik bermain sepeda sementara ia hanya berlari-lari mengikuti dari belakang. Pasalnya, sepeda kecil Dika sudah lama rusak dan saya enggan membawanya ke bengkel. Lagipula, Emak Dika masih trauma kala Dika hampir bertabrakan dengan sepeda motor. Alasan lain, jika sepeda itu diperbaiki, Dika akan lebih sering bersepeda ke tempat jauh dan tidak bisa kami kontrol. Jadilah sepeda itu teronggok saja dalam waktu lama.
“Bapak, kapan sepeda Dika dibawa ke bengkel? Dika dibombe (dicuekin) karena tidak punya sepeda.” Mendengar keluhan itu hampir setiap hari, saya tidak bisa mendiamkannya. ke esokan hari sepeda itu saya bawa ke bengkel.
Tentu saja yang kami cemaskan terjadi. Begitu sepeda yang sudah diperbaiki berada di tangan Dika, selama beberapa jam, batang hidung Dika tidak nampak. Trauma emaknya kembali membuncah dan saya diam saja, sengaja tidak menghiraukan. Saya tahu kalau Dika dan sejumlah temannya yang lebih dewasa darinya tengah mengelilingi kompleks perumahan kami. Bagi saya, hal itu tidak perlu terlalu dikhwatirkan. Toh, mereka naik sepadanya beramai-ramai.
Begitu kembali, emaknya mengomel. “Besok kalau pergi jauh. Ban sepedamu Emak bikin kempis,” Dika diam saja dan kembali berlalu. Melaju jauh dengan sepedanya.
“Dika, Dika…! Mau ke mana lagi. Makan dulu terus tidur siang!” Teriak emaknya.
“Lihat itu! Dika jadi nggak mu makan gara-gara keasikkan main sepeda,” omelan itu kini ditujukan ke saya.
“Saya tidak mau tahu. Kalau sampai Dika tertabrak motor. Bapak yang tanggung jawab,” ujarnya lagi sebelum berlalu ke kamar berbaring.
Ketika suasana mulai adem. Diam-diam saya lajukan sepeda motor menyusul Dika dan mengajaknya pulang untuk makan lalu tidur siang. Kok, rasa khawatir tertabrak sepeda motor tiba-tiba menghantui? Saya jadi dilema.
F Daus AR, Ayah dua orang anak, tinggal di Pangkep, Sulawesi Selatan.
Leave a Reply