Di dunia pendidikan, ketika Abraham Licoln menyiapkan kapaknya dengan mengasahnya, pimpinan di Indonesia justru melakukan sebaliknya. Mereka datang berbekal benda tumpul, berukuran panjang, berdiameter lebar, lalu menghantamkannya dengan keras dan sekuat tenaga pada pokok-pokok pohon. Antara Abraham Lincoln dan pimpinan di Indonesia memang punya tujuan sama. Sayangnya, alat dan teknik yang digunakan sungguh jauh berbeda. Seperti itulah analogi dunia pendidikan di Indonesia, terutama di lembaga pendidikan formal. Tak semua memang, tapi umumnya.
Sekolah, layaknya benda tumpul itu, memaksa dan ‘menghantam’ anak-anak untuk belajar lebih keras lagi dari hari ke hari. Mereka menambah jam pelajaran, memperbanyak pekerjaan rumah, memberi banyak buku, dan berceramah lebih banyak, tanpa benar-benar memahami kondisi, kebutuhan , maupun kompetensi siswa secara personal. Mereka percaya, alat dan teknik itu mampu membentuk siswa-siswa yang unggul. Setidaknya, bermanfaat bagi dunia industri.
Jika kamu tinggal atau bersekolah di kota, beruntunglah kamu, karena banyak sekolah sudah mulai menanggalkan warisan jumud tersebut. Malang bagi yang sebaliknya. Anak-anak masih jadi sasaran hantaman pemukul tadi. Mudah bagi saya menemukannya di lingkungan tempat tinggal saya. Saya lahir dan besar di sebuah desa di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Setiap hari –senin sampai jumat–saya dipaksa melihat keponakan saya yang duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), berangkat lebih awal dan pulang pukul tiga sore. Pergulatannya dengan dunia sekolah tak berhenti di situ. Di rumah, ia masih harus mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) dan mempelajari materi untuk esok hari. Masalahnya, tak saya lihat keceriaan di wajah keponakan saya ketika dia bersentuhan dengan hal-hal yang berbau sekolah. Sampai di situ, saya berpikir, pendidikan kita berhasil membuat anak-anak merasakan dunia buruh lebih dini.
Tidak dipungkiri, saya pun produk dari pendidikan Indonesia. Saya menginggat kembali masa ketika saya SMP. Setiap berangkat ke sekolah, saya selalu menggendong tas berisi banyak buku. Saya memulai pagi dengan menggendong beban berat, mungkin beiringan dengan beban kehidupan yang dipikul keluarga saya, dan orang-orang di lingkungan tempat tinggal saya yang mayoritas petani, kuli bangunan, dan pekerja serabutan.
Sesampainya di sekolah, saya mendengarkan guru menyampaikan materi sepanjang jam pelajaran. Tentu saja saya dan teman-teman mendengarkan dengan anteng dan diam, menyerupai jajaran dakocan. Sebab jika tidak, jika berulah, sebuah mistar kayu setinggi tubuh guru kami akan mendarat di kepala kami.
Materi yang disampaikan guru pun umumnya persis dengan yang tertulis di buku, mungkin kurang, sayangnya tak ada tambahan. Selama menyampaikan materi, tak pernah guru berkomunikasi atau mengajak diskusi. Lebih tepatnya kami seperti jajaran dakocan yang menghadap sebuah tembok.
Model semacam ini mengingatkan saya pada Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin. Ia menyebut pendidikan demikian sebagai pendidikan gaya bank. Siswa dianggap sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa, yang hanya bisa menerima, menerima, dan menerima hibah pengetahuan dari guru. Guru merasa dalam ekosistem kelas hanya dirinyalah yang berperan, lantas siswa tidak diberi kesempatan aktif di kelas.
Tapi terkadang kami lebih memilih mendengar ceramah dari guru daripada harus merangkum buku atau mengerjakan ulangan. Guru menyuruh kami menuliskan sinopsis suatu buku berhalaman-halaman banyaknya, ditulis tangan di kertas folio, dan dikumpulkan. Hasil rangkuman kami tentu saja sekadar dikumpulkan, tidak lebih, yang saya sendiri hingga hari ini tidak tahu tujuannya. Semata semacam kami membantu guru kami beristirahat sejenak dari kewajiban mengajar.
Yang paling tidak kami sukai adalah PR dan penilaian ulangan. Buku setebal dua tumpuk novel Harry Potter akan mendarat di kepala kami jika kami tidak mengerjakan PR atau ketahuan menyontek ketika ulangan. Sedangkan jika nilai ulangan kami jelek, kami harus hormat di tengah lapangan selama satu jam atau berdiri di depan kelas untuk menerima olok-olok dari guru dan teman-teman.
Semua hukuman itu masih saja memberi kami kebingungan: apa pentingnya bagi kami belajar matematika, geografi, atau pelajaran lain dengan sungguh-sungguh? Jatuhnya, hukuman itu hanya mengajari kami untuk menyelamatkan diri dari “kediktatoran” guru kami.
Semua itu terus terang membuat berat langkah saya ke sekolah, alih-alih bersemangat. Setiap hari, selain buku-buku yang ada dalam tas saya, terselip harapan: semoga jam pelajaran kosong, semoga ada rapat guru, semoga pulang lebih awal, atau saya nanti pura-pura sakit saja dan beristirahat di ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Buruknya lagi, sebuah rencana, lebih baik membolos di mana? Kami cenderung senang ketimbang sedih jika ada berita duka yang membuat sekolah meniadakan kegiatan belajar mengajar.
Guru-guru saya di sekolah cenderung tertahan untuk memahami keinginan, minat, atau mungkin perasaan kami. Kadang saya berpikir, orientasi mereka mengajar semata melepaskan tanggungjawab: kurikulum terselesaikan tepat waktu tanpa masalah, ada nilai ulangan yang diinput, terlihat bekerja hingga lelah, siswa yang patuh, dan menerima gaji. Hingga saya sering iri ketika ada teman yang membanggakan gurunya di sekolah dulu.
Pernah seorang teman mengisahkan cara mengajar gurunya yang menyenangkan, atau sekadar mengenang perangai baik guru. Atau cerita teman lainnya yang selalu menyempatkan diri ketika libur kuliah untuk sowan ke rumah gurunya. Seakan ada ruang di hati teman-teman saya untuk nama guru mereka.
Saya sempat menggali-gali kembali kenangan saya selama sekolah, mengingat-ingat kembali nama-nama guru saya. Tapi semakin keras saya mencari, justru yang muncul di ingatan adalah guru-guru yang tidak ingin saya kenang: memar di kepala saya karena pukulan, olok-olok yang membuat saya merasa kerdil, dan kata-kata yang menyayat hati.
Nyatanya, sekolah tak menabur rasa senang kepada saya atau mungkin teman-teman saya. Padahal rasa senang adalah modal awal dari semangat belajar. Sekolah juga gagal menyirami rasa keingintahuan kami agar tumbuh subur, tidak membawa suluh untuk memantik jiwa kompetitif kami.
Mengingat itu, saya rasanya rugi menjalani waktu yang panjang dalam hidup saya di sekolah. Tidak ada stimulus berpikir, tidak terlatih memecahkan masalah, tidak bisa menemukan minat dan menjadikannya keterampilan, bahkan bisa dibilang tak pandai mencerna pengetahuan. Saya sebagai siswa merasa tak mendapat kebutuhan untuk mengembangkan pikiran dan perilaku. Sekolah semata buang-buang waktu dan tenaga karena cara mengajar yang tidak efektif.
Kekecewaan saya yang lain, lingkungan dan suasana yang tercipta di sekolah. Saya berniat berangkat ke sekolah untuk belajar, tapi kok malah tercebur ke kubangan lumpur?
Leave a Reply