Saya Berangkat ke Sekolah, Tapi Mengapa Tercebur ke Kubangan Lumpur? /2/

Alfiandana

Saya berniat berangkat ke sekolah untuk belajar, tapi kok malah tercebur ke kubangan lumpur? Lumpur yang mengikat saya sejak bangku SD (Sekolah Dasar) hingga SMA (Sekolah Menengah Atas).

Saya termasuk yang percaya dengan teori Skinner, psikolog dari Amerika Serikat, bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dan kubangan lumpur yang saya maksud analogi untuk perilaku teman-teman saya di sekolah.

Ketika awal masuk SD, saya termasuk anak baik-baik. Saya selalu ranking 3 teratas dari 30 siswa, sejak saya duduk di kelas satu hingga kelas tiga. Kemampuan membaca saya mendahului teman-teman yang lain. Di desa, setiap jam empat sore saya tak pernah lalai mengikuti kegiatan TPA (Tempat Pembinaan Al-Qur.’an). Bahkan saya menjadi santri andalan yang mewakili TPA setiap ada lomba tingkat desa, yang diselenggarakan tiap bulan Ramadan. Biasanya saya maju untuk lomba cerdas cermat, da’i cilik, wudlu, dan salat. Tetapi, panji-panji kebajikan dalam diri saya tersebut pudar seiring berjalannya waktu. Saya terlempar ke peringkat 10 ketika saya naik kelas empat dan seterusnya. Sementara kesalehan saya di TPA terkikis ketika saya masuk bangku SMP.

Kemunduran saya tersebut, kini saya ketahui setelah melakukan nostalgia dan meneliti pengaruh psikologis dan sosiologi terhadap pekembangan anak, disebabkan oleh lumpur-lumpur yang mulai bersentuhan dengan saya. Mulanya terjadi ketika saya kelas empat.

Siswa yang mengisi sekolah saya dulu, mayoritas bisa dikatakan sebagai anak-anak yang secara normatif, nakal. Anak-anak ini mulai menunjukan superioritasnya ketika beranjak kelas empat. Mereka hobi merundungi anak perempuan dan anak yang terlihat lemah. Saya salah satu korbannya, lantaran saya paling kecil di kelas, paling kurus dan pendek.

Mereka juga sudah mulai membuat geng dan kerap berkelahi. Karena ingin menyelamatkan dari perundungan tadi, saya mulai ikut geng mereka, tapi saya hanya ikut berjalan ke sana ke mari tanpa ikut berkelahi. Teman-teman saya ini juga sudah mengenal rokok. Saya belum berani merokok di masa ini. Parahnya lagi mereka mencorat-coret gedung sekolah yang tidak terpakai dengan gambar alat reproduksi laki-laki dan perempuan. Awalnya saya bingung gambar apa itu, lalu mereka menjelaskan kepada saya.

Yang paling mengerikan, saya mengalami dua kali sekolah saya tawuran. SD sebelah yang hanya terpisah lapangan menjadi musuhnya. Batu-batu dan umpatan beterbangan di atas lapangan. Tawuran bahkan diwarnai dengan darah. Anak SD sebelah memukul kepala teman saya menggunakan stik kasti. Saya masih ingat betul ketika teman saya digotong ke ruang kepala sekolah dengan baju berlumur darah.  

Perilaku-perilaku yang bersentuhan dengan saya tadi mempengaruhi kepribadian saya, secara tidak saya inginkan. Sebenarnya, bisa dikatakan itu adalah kesalahan saya sendiri yang tidak bisa menjaga pikiran baik saya. Teman-teman SD saya yang pandai dan rajin banyak yang selamat dan bisa menyelamatkan diri mereka sendiri ketika tumbuh dewasa. Saya mengamati perkembangan mereka melalui unggahan Instagram mereka dan sering mengucapkan selamat.

Lingkungan SD masih terbilang belum parah jika dibandingkan dengan lingkungan SMP saya. jika manusia bisa menghapus ingatan ingin rasanya saya menghapus masa SMP, yang tak mempunyai kesan baik sama sekali. SMP saya adalah SMP terburuk se-Kecamatan, jika se-Kabupaten juga tergolong di peringkat dasar.

Jelas buka keinginan saya mendaftar di sekolah tersebut. Awalnya saya mendaftar di SMP favorit, tapi ternyata kemampuan saya tidak memenuhi syarat. Pilihan saya kemudian hanya dua: mendaftar di SMP paling buruk tersebut atau masuk sekolah tahun depan.

Sebelum mulai sekolah saya menangis berhari-hari, pertama karena menyadari kebodohan saya, kedua merengek-rengek kepada orangtua saya minta dipindahkan apabila nanti sudah mulai sekolah. Semua itu karena cerita-cerita yang sudah saya dengar tentang sekolah saya. Sekolah saya terkenal sebagai sarang preman, arena perkelahian, dan ramai pemalakan.   

Di jenjang ini langkah saya untuk menggapai kembali cahaya terang pendidikan betul-betul sirna, awan-awan mendung menyembunyikan matahari sedalam-dalamnya. Awal masuk sekolah, saya mengamati teman-teman di kelas, sebagian banyak terlihat seperti petarung dan sebagian lagi seperti para peminum pil koplo, meski mereka tidak benar-benar minum tapi tingkah mereka seperti perlu dihindari. Sisanya, di tiap kelas yang berisi tiga puluh siswa, cuma tiga-empat orang yang pintar dan rajin.

Jika kamu bersekolah bersama saya, kamu akan senang karena banyaknya jam kosong. Guru-guru disibukan mengurusi siswa yang bermasalah . Setiap hari, seperti ada jadwal perkelahian di sekolah. Kamu akan bosan melihat seorang siswa ditandu menuju UKS dengan muka berdarah. Bahkan pernah juga terjadi seorang siswa menantang berkelahi guru matematika.  

Setiap jam istirahat, kamu akan rela tidak jajan daripada harus bertemu siswa-siswa yang merokok dan mabuk di kantin. Ada juga siswa yang gemar mencampur pil koplo ke dalam es minumnya. Apabila tidak tergolong sekawanan mereka, siswa yang polos, pintar, maupun alim –yang jumlahnya sedikit–akan tersepak ke sudut perpustakaan atau pojok masjid.

Di lingkungan sekolah yang seperti itu, siswa sejenius Leonardo da Vinci cum Nikola Tesla pun mustahil berkembang. Jika mereka tidak terseret arus berlumpur tadi, mereka bisa bertahan namun dengan keadaan yang konstan, ngambang dan tidak ke mana-mana. Seandainya mereka bisa berkembang, perkembangan mereka pun bakal selamban siput. Sedangkan siswa-siswa di sekolah dengan lingkungan yang mendukung, perkembangan mereka menggelinding seperti bola.

Lingkungan SMA saya lebih baik, namun tindakan-tindak amoral masih bertaburan. Di masa ini saya mulai menghilangkan sifat-sifat inferior saya agar saya tidak lagi mendapat perundungan dan intimidasi.

Buruknya, saya yang dulunya menjadi korban berubah menjadi aktor. Dalam ilmu psikologi yang saya dengar dari mahasiswa psikologi, kasus tersebut dinamakan teori silang atau pelampiasan. Penolakan yang muncul karena seseorang tidak tahan dengan perlakuan buruk yang ia terima sebelumnya. Sayangnya saya mewujudkan penolakan tersebut dengan perilaku negatif pula.

Saya mulai terlibat dalam tindakan-tindakan yang merugi. Saya lebih bangga berada di kantin dan tempat rental PS (play station) daripada berada di perpustakaan. Saya lebih senang menghafal merek-merek rokok dan minuman keras daripada materi di buku. Saya lebih giat mengutak-atik sepeda motor daripada memodifikasi isi kepala.

Apabila kalian ingin tahu apa orientasi para siswa dalam lingkungan pendidikan yang saya jalani, apakah mereka berorientasi pada pengetahuan dan prestasi? Tetap ada, tapi hanya segelintir siswa, seperti jatuhnya kelereng dari saku yang bolong.

Buang jauh-jauh bayangan sebuah habitat di mana siswanya meributkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi atau ingin berprestasi karena memiliki bakat di bidang tertentu. Di sekolah saya justru ada lima macam orientasi. Pertama penampilan, siswanya berlomba-lomba dandan tanpa mempercantik akal dan adab. Kedua gadget, semakin mahal gadget semakin mereka miskinkan isi kepala. Ketiga modifikasi motor. Dan keempat tindakan asusila. Semakin kriminal mereka, mereka akan merasa semakin keren. Dan semakin berat tindakan kriminalnya, maka semacam prestasi baru bagi mereka.

Pada masa saya SMA, media sosial Facebook sedang hangat-hangatnya. Kebanyak siswa nakal di sekolah saya tersebut adalah mereka yang menulis motivasi di bio Facebooknya seperti ini: Muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga. Di mana kita semua sama-sama tahu harapan itu hanya bisa diwujudkan dalam mimpi.

Siswa-siswa tersebut alergi dengan buku. Mereka merasa tingkat kekerenan mereka bakal menurun jika berdekatan dengan buku. Apabila ada siswa yang lekat dan sibuk dengan buku, maka mereka menganggapnya sebagai siswa yang aneh. Sama seperti sebuah desa kecil dalam film Disney Beauty and The Beast menganggap Belle perempuan aneh. Belle satu-satunya orang yang membaca buku di desa itu. Ketika Belle cerita ke ayahnya tentang olok-olok dari para warga, Ayah Belle lantas menjawab, “Ini desa kecil, jadi pikiran kecil juga.”

Jadi, apabila tidak ingin pendidikan indonesia tetap kecil dan sempit. Maka negara haruslah menciptakan lingkungan pendidikan yang bisa mendukung siswanya untuk maju.

Negara harus menciptakan guru yang kompeten. Lembaga yang bertugas menyeleksi tenaga pendidik harus melakukan penyaringan lebih ketat lagi. Hal ini sudah dicontohkan oleh Finlandia, negara dengan pendidikan terbaik, di mana guru-guru harus melalui seleksi dan pelatihan yang cukup ketat. “Guru-guru harus memiliki pendidikan berkualitas sehingga mereka benar-benar tahu bagaimana menggunakan kebebasan yang diberikan kepadanya dan belajar memecahkan masalah dengan cara yang berbasis penelitian,” kata Leena Krokfors, profesor dari Helsinki University kepada The Guardian

Sehingga di dalam kelas tidak mudah terjadi penggaris melayang, olok-olok, maupun benturan buku dengan kepala. Guru yang kompeten pasti tahu metode membuat siswa gemar belajar. Mereka bisa membuat siswa menemukan keterampilannya mereka masing-masing. Bagi siswa-siswa yang nakal dari rumah, guru-guru tersebut punya metode untuk meredamnya dan punya kepedulian untuk memperbaiki moral mereka.

Hendaknya lembaga pendidikan bisa belajar dari Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia yang bernama asli Soewardi Soeryaningrat, mengenai konsep pembelajaran. Jadi agar kita tidak semata-mata memperingatinya satu tahun sekali setiap tanggal 2 Mei. Ki Hajar Dewantara mengajarkan konsep Among: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, sekolah harus bisa tidak hanya berada di depan, melainkan juga di samping dan belakang. Sekolah harus bisa di depan untuk membukakan jalan, menjadi contoh, dan memimpin perkembangan siswa. Sekolah harus hadir di samping siswa, menjadi sahabat mereka, memahami emosi mereka, menuntun siswa mengenali diri mereka. Sekolah harus bisa di belakang, memberikan kesempatan kepada siswa, percaya kepada siswa, dan mendorong mereka untuk terus maju.

Apabila sekolah bisa menerapkan filosofi among di atas, saya rasa fungi dan tujuan pendidikan nasional yang sudah susah-susah dirumuskan bisa terwujud.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3, menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Membaca kalimat isi undang-undang tersebut nampaknya pemerintah harus melibatkan ahli linguistik dalam penyusunan undang-undang.

Apa yang saya ceritakan mungkin terkesan hiperbolik. Tapi seperti itulah adanya. Saya menulis ini karena saya menjadi korban dan sangat menyesali masa lalu saya. Saya harus membayar masa lalu saya dengan sangat mahal baik waktu, tenaga, maupun materi. Tidak hanya saya, keluarga saya pun harus turut membayar mahal.

Kepada pemerintah Indonesia tolong sembuhkan kekecewaan saya dengan tidak membiarkan adi-adik saya mewarisi apa yang saya alami. Tolong perbaiki celah-celah dalam pendidikan Indonesia seperti yang saya sambatkan di atas. Tengoklah wajah-wajah sekolah di desa-desa, di tempat terpinggirkan. Menutup kubangan lumpur tadi akan menjadi langkah kemajuan bagi pendidikan kita, itupun jika ingin maju.

Apabila tindakan perbaikan itu dilakukan, pemerintah Indonesia bakal melakukan pepatah: Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Sekali pendidikan bermutu bagus, maka kesejahteraan masyarakat juga terbenahi. Pendidikan yang buruk akan terus membantu mewariskan kemiskinan sebuah keluarga. Saya percaya cara untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan memperbaiki pola pikir.

Alfiandana
Lahir di Klaten. Suka jalan-jalan lalu tersesat sendirian. Sejak kecil berkeinginan bisa bicara dengan binatang, terutama kodok.