Arita dan Sofanya /3/

Ilustrasi: Arita dan Sofanya karya Della Naradika

Lalu, bagaimana dengan si rajin Arati, gadis lima belas tahun yang selalu pulang tiga jam lebih lama di hari Selasa ketimbang hari-hari lainnya? Anehnya, tidak satupun anggota keluarganya yang berkutik, buka-mulut, turun-kaki, bahkan sekadar bertanya kepada Arati meski mereka semua menyadari keganjilan itu. Sungguh benar-benar keluarga yang istimewa!

Hari itu, seperti hari-hari lainnya, sesaat setelah Arati masuk ke rumahnya, dia akan meletakkan tas dan peralatan sekolahnya di meja makan, mengambil sapu, membersihkan semua tempat sampah dan barang-barang rumah tangga lainnya. Arati juga mencuci semua peralatan makan dan cangkir kotor yang menumpuk di wastafel. Dia lalu menata mereka rapi di pinggir wastafel, setelah terlebih dahulu lantainya ditaburi daun mint. Arati lalu berjalan menuju pintu di dekat ruang tivi, mengambil kemoceng berwarna hijau-coklat dengan bulu-bulu tebal, dan membersihkan semua rak, bingkai jendela, perabotan, juga TV, yang membuat dia harus mendengar omelan Arita.

Tapi Arati selalu menjawab omelan Arita dengan sikap kesabaran yang luar biasa. Dia akan membersihkan televisi itu tergesa-gesa agar tidak mengganggu adiknya yang asik menonton. Mungkin karena Arati merasa punya kewajiban sebagai seorang kakak yang harus menjaga adiknya sebaik mungkin. Atau, bisa jadi Arati tidak mau dibikin pusing oleh kebawelan Arita yang tidak bisa beranjak dari sofa dan tivinya. Sesekali Arati mencoba mengajak bicara Arita, yang justru dianggap Arita sebagai kesintingan karena kakaknya itu mengoceh sendiri dan menganggu kesenangannya.

Arati mencoba melakukannya lagi, mengajak bicara adiknya. Setelah selesai dengan kemocengnya, Arati duduk di sofa, di dekat Arita. Arati mulai bercerita tentang teman-teman perempuannya di sekolah yang sangat menyukai cabai rawit. Sebenarnya, Arati ingin menceritakan hal konyol atau lebih tepatnya kemalangan seorang lelaki berusia tiga puluhan yang menjual berbagai gorengan tidak sehat di dekat sekolahnya, termasuk cronchon. Tapi Arita tidak tertarik dan sama sekali tidak memedulikan cerita Arati.

Arati tetap melanjutkan ceritanya. Dia bilang jika teman-temannya suka jajan dan nongkrong di dekat gerobak lelaki berusia tiga puluhan itu. Oh, jangan kalian pikir teman-teman Arati suka ke sana karena gorengannya enak atau penjualnya punya wajah aduhai. Sama sekali bukan. Teman-teman Arati suka jajan di sana karena lelaki berusia tiga puluhan itu selalu menyediakan banyak sekali cabai rawit.

Tentu saja yang dilakukan lelaki berusia tiga puluhan itu tidak sama seperti penjual gorengan lainnya. Mereka pelit cabai rawit. Mereka hanya akan memberikan satu atau dua cabe rawit untuk sekian banyak gorengan yang dibeli oleh teman-teman Arati. Tetapi tidak dengan lelaki berusia tiga puluhan itu. Dia menyediakan satu mangkuk besar cabai rawit di gerobaknya. Dan sudah pasti teman-teman Arati menjadikan gerobak lelaki berusia tiga puluhan itu sebagai tempat jajajan favorit mereka. Teman-teman Arati dan hampir semua anak-anak di Portul menyukai cabai rawit. Mereka menggigit dan memakan cabe rawit seakan itu gulali cabai merah.

Begitu mereka sampai di gerobak lelaki berusia tiga puluhan itu, masing-masing teman Arati memesan satu saja gorengan atau seporsi kecil cronchon. Tetapi mereka mengambil segenggam penuh cabai rawit dari mangkuk besar dan menikmati cabai rawitnya seakan-akan itu camilan paling enak di dunia. Awalnya lelaki berusia tiga puluhan itu tidak memedulikannya. Dia tidak terlalu memikirkan cabai rawit yang cepat sekali ludes dari mangkuk besarnya. Gorengannya yang habis terjual membuat hatinya senang. Dia akan mengisi kembali mangkuk besar yang sudah kosong itu dengan cabai. Itu terjadi berulang-ulang hingga akhirnya lelaki berusia tiga puluhan itu tersadar, ulah teman-teman Arati bisa membuatnya  bangkrut.

“Dan sudah satu minggu lekaki berusia tiga puluhan itu tidak terlihat berjualan. Aku pikir dia benar-benar bangkrut hanya gara-gara cabai rawit!” Arati berkata dengan bersemangat.

Arita tertawa terbahak-bahak. Arati merasa senang ceritanya tentang lelaki berusia tiga puluhan itu akhirnya bisa membuat adiknya melupakan tivinya. Tetapi setelah dia memerhatikan baik-baik arah jari telunjuk kurus Arita saat tertawa, Arati menyadari jika Arita tertawa bukan karena ceritanya, melainkan tokoh kartun di layar televisi yang terbolak-balik karena asap knalpot.

Arati kesal. Setelah mengumpat Arita, dia meninggalkan adiknya itu dan berjalan menuju kamarnya. Arati bertanya-tanya, kenapa keluarga mereka tidak pernah menghabiskan waktu bersama, atau setidaknya menjadi akur satu jam saja dan saling menceritakan hal-hal sepele, semacam merek pisau di dapur, bahan sofa di ruang tamu, atau apakah ikan tidur atau tidak di dalam air.

Sesekali Arati mencoba memancing percakapan, jika tidak boleh dibilang keributan. Dia tiba-tiba mengomel karena saus tomat berwarna pucat. Tetapi mereka tidak memedulikannya dan berkata jika sikap Arati itu lebih menyerupai parasit, mengganggu ketenangan dan kesibukan mereka. Ujung-ujungnya, mereka akan menghilang satu persatu, masuk ke kamar masing-masing, meninggalkan Arati yang mengumpat kesal di meja makan dan Arita yang tetap asik menonton tivi dari sofanya. Arati sungguh heran dengan porsi ketidakacuhan di dalam keluarga.

Jika dilihat sekilas, Arati tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya di Portul. Tapi jika diperhatikan baik-baik, Arati anak yang berbeda; tidak malas, tidak pelit, dan tidak suka berbuat curang. Di sekolah, prestasi Arati tak kalah dari adik laki-lakinya, Dati. Arati termasuk anak yang pintar hampir dalam semua bidang dan selalu dibanggakan oleh guru atau orang tua siswa lainnya. Hanya satu hal yang tidak pernah mereka banggakan dari Arati; kursi belajar Arati yang kosong setiap hari Selasa.

Awalnya mereka tidak terlalu memedulikan kebiasaan bolos Arati. Tapi kelamaan, sekolah terpaksa menitipkan surat untuk Ayah atau Ibu Arati. Sayangnya undangan dari sekolah itu tidak pernah dipenuhi oleh orangtua Arati. Pihak sekolah tidak tahu apa sebabnya dan sepertinya mereka tidak mau bersusah payah untuk mencari tahu.

Setelah mengumpat Arita yang lebih memilih siaran di televisi daripada mendengarkan ceritanya, Arati masuk ke dalam kamarnya. Kamar kecil itu bersih dan rapi. Barang-barang tampak berada dalam posisi yang tepat. Aroma mint tercium begitu pintu kamar dibuka. Arati terdiam, dia teringat cerita salah seorang temannya siang tadi di sekolah. Temannya menceritakan nasib seekor ayam yang mati mengenaskan karena sibuk membersihkan kandang menggunakan paruh dan sayapnya. Arati tahu jika cerita itu hanya bualan yang digunakan teman-temannya untuk mengejeknya. Tapi Arati menjadi cemas. Apa ada orang yang mati mengenaskan karena terlalu memikirkan kebersihan dan kerapian?

Arati mencoba tidak mau terlalu memikirkan cerita konyol itu. Dia menuju kamar mandinya yang mungil, yang pintunya berada persis di sebelah lemari pakaiannya yang berwarna putih. Arati menggosok bersih giginya, mencuci mulut dan wajahnya, mengganti pakaian, dan tergesa bersembunyi di balik selimut lembutnya yang berwarna ungu muda dan beraroma daun mint. Meski belum waktunya tidur, Arati memilih beristirahat saja. Lagipula besok Selasa, hari tersibuk bagi Arati.

Abinaya Ghina Jamela
Lahir di Padang dekat pantai. Sangat menyenangkan untuk bermain di pantai. Sekarang aku sudah jago berenang. Cita-citaku mempunyai sekolah untuk anak-anak.Tapi sekolahnya berbeda dari sekolah yang sudah ada.