Membungkus Mimpi Noor

Ilustrasi: Membungkus Mimpi Noor karya Della Naradika
Ilustrasi: Membungkus Mimpi Noor karya Della Naradika

Saat itu, matahari sangat terik di pulau kecil Sebatik. Pulau itu ada di utara Pulau Kalimantan yang dimiliki oleh dua negara; bagian utaranya masuk wilayah Malaysia dan bagian selatannya berada Indonesia. Seorang anak perempuan berkaca mata sedang membaca buku. Buku itu ia dapat dari perpustakaan mini di kampungnya yang dibangun oleh para sukarelawan dari Ibukota.

Anak perempuan itu memang hobi membaca. Rasa ingin tahunya sangat tinggi. Dari buku-buku yang ia baca, ia bercita-cita menjadi penulis. “Ah, seandainya aku bisa seperti Kak Ailisha dan Kak Kaissa. Aku pasti bisa menerbitkan banyak buku,” kata anak perempuan itu berandai-andai. Terbersit di pikirannya, ia ingin menulis cerita dan dibukukan. Ia tak mau hanya membaca karya orang lain. Ia ingin karyanya juga dibaca oleh orang.

Anak perempuan itu bernama Noor Dzakiyah Nuriyani. Ia biasa dipanggil Noor. Noor merupakan anak tunggal dari pasangan Ibu Yati Nuriyani dan Bapak Ambo Abdul Dzaki. Noor duduk di kelas 5 SD Al-Furqon.

            “Noor Sayang, lagi baca apa?” tanya Mamak menghampiri Noor. Noor biasa memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mamak’.

            “Lagi baca buku cerita, Mak,” jawab Noor tersenyum.

“Mak, bisa tidak, ya, Noor menjadi seorang penulis seperti penulis cilik yang karyanya sering Noor baca?” tanya Noor. Mamak terdiam sesaat mendengar pertanyaan anak semata wayangnya itu.

“Pasti bisa, Nak,” jawab Mamak sambil membelai kepala Noor.

            “Hmm… tapi kan Noor tinggal di perbatasan, Mak. Apakah Noor bisa seperti mereka yang karyanya dibaca banyak orang?” Noor jadi tertunduk lesu.

            “Memangnya kenapa, Nak. Noor jangan takut bermimpi. Anak-anak yang tinggal di perbatasan juga boleh bermimpi,” kata Mamak meyakinkan Noor.

“Tugas seorang penulis adalah menulis, Nak. Semua orang bisa menjadi penulis, entah mereka berasal dari daerah kota atau perbatasan dan kaya atau miskin. Mamak percaya, suatu saat nanti Noor akan menjadi penulis sukses. Mamak akan mendukung setiap langkah Noor.”

            “Yup, Mamak benar. Meski tinggal di perbatasan, aku tidak mau putus semangat. Aku harus rajin belajar dan membaca. Membaca adalah sumber inspirasiku. Aku harus yakin suatu saat nanti mimpiku akan terwujud.” kata Noor dalam hati.

            “Kalau Noor mau membaca, lanjutkanlah, Nak. Mamak mau memasak sayur lodeh untuk makan siang,” kata Mamak beranjak pergi dari kamar Noor.

 Selain menghabiskan waktu luang dengan membaca, Noor juga sering main ke rumah Pakcik Amin. Pakcik Amin memiliki usaha warung internet (warnet) di rumahnya. Noor sering menghabiskan waktu sorenya dengan bermain di sana. Ia suka berselancar ke dunia maya untuk mencari informasi dari berbagai belahan dunia. Karena Pakcik Amin adalah Pamannya, Noor selalu mendapatkan akses gratis.

Suatu hari saat Noor sedang internetan, ia menemukan poster lomba menulis cerpen yang diadakan oleh penerbit besar. Seketika, Noor ingin ikut berkompetisi dalam lomba tersebut. Sejak saat itu, Noor selalu menuliskan ide-ide yang bermunculan di kepalanya. Ia menuliskan idenya pada buku kecil yang selalu ia bawa.

***

Allahu Akbar! Allahu Akbar, azan Zuhur berkumandang lantang dari musala yang tak jauh dari rumah Noor. Noor segera mengambil air wudu dan melaksanakan salat Zuhur bersama Mamak. Tak lupa, setelah shalat, ia lantunkan doa agar impiannya tercapai.

            “MasyaAllah, Noor. Kamu berdoa lama sekali. Kalau boleh Mamak tahu, apa isi doamu?” tanya Mamak.

            “Noor berdoa agar impian Noor menjadi penulis bisa terwujud, Mak” jawab Noor beranjak melipat mukena putihnya.

            “Amiiin… Semoga tercapai, ya, Nak. Mamak akan selalu mendukungmu. Segera makan siang, yuk! Sayur lodehnya sudah jadi,” ajak Mamak.

Noor dan Mamak segera ke ruang makan. Semangkuk besar sayur lodeh dan nasi sudah terhidang di atas meja kayu yang beralas taplak putihTak lama kemudian, Bapak pulang dari kebun kelapa sawit dengan berpeluh keringat. Mayoritas penduduk di kampung Noor memang bekerja sebagai petani di perkebunan kelapa sawit.

Noor segera menyalami tangan Bapak. Setelah itu, Bapak segera bergabung dengan Noor dan Mamak untuk makan siang bersama. Sembari makan, Mamak menceritakan mimpi Noor kepada Bapak. Noor sangat senang ketika Bapak juga mendukungnya. Noor semakin bersemangat ingin menjadi penulis. Bila ada waktu luang, Noor selalu menulis di buku kecil kesayangannya. Buku tersebut sudah seperti sahabatnya sendiri. Ia selalu membawanya kemana saja. Bagaikan magnet, Noor tidak bisa berpisah dengan buku kecilnya. Noor juga selalu belajar menulis sendiri. Pertama, Noor mulai menuliskan ide-ide yang bermunculan. Idenya ia rangkai menjadi kata demi kata, sampai menjad sebuah cerita.

Suatu hari, Noor menulis sebuah cerita. Noor memperlihatkan ceritanya ke Mamak. “Bagaimana cerpenku, Mak? Bagus apa tidak?” tanya Noor penuh harap.

            “Ceritamu bagus, Nak!” kata Mamak tersenyum lebar. Noor sangat bahagia mendengar tanggapan dari Mamak. Sebelum dikirimkan ke penerbit, Noor harus mengetik karyanya ke dalam komputer terlebih dahulu. Noor melakukannya di tempat Pakcik Amin. Setelah selesai mengetik, Noor mengirimkan karyanya melalui email ke alamat penerbit.

Noor sangat bersyukur dengan kecanggihan teknologi saat ini. Dengan adanya internet, ia yang berada jauh di perbatasan dapat mengirim karyanya ke daerah lain dengan cepat.

            “Mak, Noor sudah tidak sabar menunggu hasil kompetisi menulis,” kata Noor kepada Mamak setibanya di rumah.

            “Iya, Nak. Berdoa, ya! Karena sesungguhnya hanya Allah tempat kita meminta pertolongan dan hanya Allah yang mengabulkannya,” kata Mamak.

***

Akhirnya waktu pengumuman tiba. Pemenang lomba akan diumumkan di akun media sosial penerbit. Noor sudah tidak sabar pergi ke rumah Pakcik Amin untuk melihat pengumuman. Noor mengajak Mamaknya.

            “Sudah ada pengumumannya, Mak!” seru Noor.

            “Mana, Nak, mana?” Mamak sangat penasaran melihatnya hasilnya. Mamak dan Noor bersemangat membaca pengumuman di akun media sosial penerbit. Tak ketinggalan, Pakcik Amin turut penasaran juga. Noor membaca satu persatu nama pemenang, hingga nama pemenang harapan III.

            “Gimana hasilnya Noor?” tanya Pakcik Amin. Namun Noor hanya terdiam. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. “Nama Noor tidak ada,” kata Noor dengan lirih. Mendengar jawaban Noor, Mamak menguatkan Noor, “Noor jangan bersedih, ya. Yang terpenting Noor sudah berusaha dengan maksimal. Noor harus menerimanya.        

“Ah, semua usahaku sia-sia! Kata Mamak, anak di perbatasan juga bisa meraih mimpinya. Tapi, buktinya Noor tidak bisa,” keluh Noor. Noor sangat meratapi kekalahannya.

            “Noor jangan patah semangat dulu! Kekalahan bukanlah akhir dari perjuangan, Nak. Noor harus menjadikannya sebagai pelajaran. Noor harus semakin semangat dan giat berkarya.” kata Mamak membesarkan hati Noor. Noor sangat sedih. Padahal, hampir setiap hari Noor selalu meluangkan waktu untuk menulis. Kekecewaan Noor berlangsung sampai beberapa hari. Buku kecil yang biasanya menjadi sahabatnya kini ia biarkan tergeletak di lantai.

Dua hari setelah pengumuman, Noor pergi ke tempat Pakcik Amin. Kebetulan sekolah sedang libur nasional. Noor ingin mengajak anak Pakcik Amin bermain.

“Assalamualaikum, Pakcik! Noor mau main bareng Yati. Boleh tidak?” tanya Noor dengan sopan. Yati adalah anak kandung Pakcik Amin yang seumuran dengan Noor.  “Wa’alaikumussalam, Noor.” Pakcik tidak menjawab pertanyaan Noor, tapi malah membicarakan hal lain. “Oh iya, Pakcik mau kasih tahu kamu sesuatu, tapi lupa terus. Padahal Pakcik mau ngasih tahu dari kemarin,” ujar pakcik sambil memegang kening.

            “Ada apa, Pakcik?” tanya Noor penasaran.

            “Selamat Noor! Aduh, ternyata kemarin kamu kurang teliti. Sebenarnya, kamu menjadi juara favorit dalam lomba cerpen tersebut,” kata Pakcik Amin.

            “Yang benar, Pakcik?” tanya Noor kaget.

            “Namamu ditulis di bagian akhir pengumuman. Coba kamu cek sendiri kalau tidak percaya,“ kata Pakcik.

            “Hmm, kalau begitu Noor mau pulang dulu, Pakcik! Noor mau memberitahu Mamak,” kata Noor begitu bersemangat.

            “Kasih tahu Mamakmu segera, Noor. Selamat, ya! Eh, tidak jadi main sama Yati, nih?” tanya Pakcik menggoda Noor.

            “Lain kali, ya, Pakcik. Noor sedang sibuk,” jawab Noor sambil tertawa. Sesampainya di rumah, Noor menceritakan kabar tersebut kepada Mamak.

            “Tuh, kan, Noor kurang teliti mencarinya,” kata Mamak.

            “Iya, Mak. Soalnya kemarin Noor keburu sedih. Noor tidak yakin mendapatkan juara karena nama Noor tidak disebutkan pertama,” jawab Noor menjelaskan.

            “Makanya lain kali dibaca dengan teliti, ya, Nak. Jangan terbawa emosi dulu,” Mamak memberi nasihat. “Pencapaianmu ini memberi bukti bahwa tinggal di perbatasan bukan hambatan bagi anak-anak di Pulau Sebatik untuk meraih mimpinya. Justru dari situ, Noor bisa belajar banyak hal,” kata Mamak meluluhkan hati Noor.

            “Iya, Mak. Noor akan terus berlatih, agar kelak bisa menjadi juara,” jawab Noor dengan ceria.

Dua bulan kemudian, sebuah paket datang. Padahal seingat Noor, ia tidak memesan barang apapun. Ia buka paket itu dengan perlahan. Saat paket itu dibuka, terpancar kebahagiaan di wajah Noor. “Alhamdulillah,” teriak Noor. Noor memegangi buku antologi pertamanya. Namanya tertulis sebagai salah satu penulis di buku tersebut. Ia membaca ulang cerpennya yang judul “Asyiknya Mengejar Cita-Cita di Pelosok Perbatasan”. Noor menuliskan sesuatu di buku kecil kesayangannya:

Halo, buku kesayanganku! Aku mau bilang sesuatu padamu dan berterima kasih banyak padamu.

Buku kecilku, aku menyayangimu. Aku belajar banyak darimu. Di tanganku, aku berjuang meraih cita-citaku bersamamu. Kalau tidak ada dirimu, entah apakah aku bisa menulis seperti sekarang. Walau hargamu tak seberapa, tapi dirimu sangat berharga.

Aku suka menulis! Aku menyukaimu buku kecilku. Kamu adalah sahabatku yang menemani langkahku meraih mimpi.

Syifa Tsabita Wiangga
Dilahirkan di Magelang, 17 agustus 2009. Saat ini duduk di bangke kelas enam SDIT Mutiara Hati, Banyumas.