Ibu Arita selalu pergi ke supermarket sore hari. Tentu saja bukan tanpa alasan. Seperti biasa, sebelum berangkat ke supermarket, Ibu Arita mengambil uang di laci, memasukkannya ke dalam tas tangan kecil berwarna merah menyala. Tas itu terlihat cantik dan pas sekali ketika Ibu Arita menggantungkannya di lengannya yang berkulit putih dan mulus. Ibu Arita lalu memakai sepatu yang berwarna sama dengan tasnya. Sepatu itu dibeli Ibu Arita seharga seratus ribu. Ibu Arita tidak suka menghamburkan uangnya untuk membeli barang-barang yang terlalu mahal. Dia tidak peduli merknya bagus dan terkenal sekalipun. Meski sepatunya tidak mahal, tapi ibu Arita selalu terlihat cantik, tidak seperti ibu-ibu lain di Portul yang suka berdandan asal-asalan. Dan percaya atau tidak, sepatu itu sudah bertahan selama kurang-lebih sepuluh tahun. Tentunya kalian tahu jika Ibu Arita selalu menjaga barang-barang miliknya dengan baik.
Sore itu, Ibu Arita menggulung rambutnya ke belakang. Gulungan kecil itu dipermanis jepitan kecil berwarna-warni. Ibu Arita juga memakai kacamata bulat besar yang hampir menutupi setengah pipinya. Kacamata itu berlensa berwarna agak kecoklatan. Ibu Arita memakai baju berwarna putih dengan sulaman bunga berwarna-warni melingkari lehernya. Lengan baju itu tidak terlalu panjang, hanya beberapa sentimeter dari bahunya, sehingga lengan putih dan mulus Ibu Arita terlihat. Ibu Arita memakai rok satin dengan lipatan-lipatan kecil. Rok itu berwarna putih dengan bercak merah tidak beraturan di beberapa bagian. Ibu Arita terlihat cantik dan gaya sekali sore itu, seakan-akan dia akan pergi ke acara pernikahan. Ditambah lagi dia memakai make-up tipis dengan lipstick berwarna merah menyala.
Supermarket hanya dua kilometer jaraknya dari rumah Arita. Ibu Arita selalu pergi ke supermarket dengan berjalan kaki. Ibu Arita orang yang peduli kesehatan. Dia selalu lari pagi tiga kilometer bolak balik. Jadi menurut ibu Arita, dua kilometer bukanlah apa-apa. Dia sudah sering melakukan lebih dari itu.
Ibu Arita berjalan dengan percaya diri. Dia berjalan dengan anggun. Ibu Arita melewati rumah-rumah yang jorok dan berantakan. Dia sebenarnya jengkel melihat orang-orang yang pura-pura baik menegur dan menyapanya, tapi suka sekali menggosipkan keluarganya. Terpaksa Ibu Arita menyapa mereka balik. Hanya orang kelewat bodoh yang tidak menyapa tetangga lainnya, walau mereka tidak suka dengan tetangga-tetangga itu. Tapi di dalam hatinya, Ibu Arita tentu saja ingin segera sampai di supermarket.
Memasuki supermarket, Ibu Arita tersenyum dan menyapa semua pegawai yang ditemuinya. Ibu Arita selalu berbelanja di supermarket itu. Jadi, dia tahu dan kenal semua pegawai yang bekerja di supermarket. Tetapi sore itu, Ibu Arita melihat wajah baru. Laki-laki kurus itu sepertinya pegawai baru di supermarket. Ibu Arita tersenyum, mengambil keranjang belanja, dan mendorongnya masuk ke dalam supermarket.
Ibu Arita sebenarnya tidak begitu menyukai keramaian. Tetapi untuk berbelanja, Ibu Arita selalu memilih sore hari, saat banyak orang datang ke supermarket untuk berbelanja. Jika ditanya suami atau anak-anaknya, Ibu Arita selalu bilang, pegawai supermarket suka menaruh barang baru setiap sore. Jadi, lebih banyak pilihan. Tapi bukan itu sebenarnya alasan Ibu Arita berbelanja di sore hari. Saat sore, supermarket sedang ramai-ramainya. Sudah pasti pelayan dan penjaga keamanan di supermarket sedikit kerepotan melayani orang yang datang. Apalagi sebelum pintu masuk supermarket, selalu ada pemeriksaan tas pengunjung, sehingga mereka seperti tidak punya waktu untuk memerhatikan hal aneh atau gerak-gerik yang mencurigakan dari pengunjung.
Ibu Arita berjalan ke arah rak bagian depan. Rak itu memajang barang-barang baru dan terbaik di supermarket. Ibu Arita suka berlama-lama berdiri di sana. Ibu Arita mengambil panci stainless bermotif bunga-bunga kristal. Panci itu sudah pernah dilihatnya beberapa hari lalu dan dia kaget ketika melihat harganya, satu juta Parte!
Sambil bersiul-siul kecil, Ibu Arita mendorong keranjang belanjaanya. Ibu Arita berkeliling supermarket, melihat barang-barang, memasukannya ke dalam keranjang. Ibu Arita berjalan ke salah satu lorong di bagian tengah supermarket. Lorong itu terletak di antara rak tinggi sabun pencuci piring dan deterjen untuk mencuci baju. Di bagian ujung lorong ada tumpukan kardus. Di sana disusun sabun bayi. Tumpukan kardus itu menghalangi pandangan Ibu Arita ke arah meja kasir. Sedangkan di ujung lainnya, tidak ada cctv alias blind spot.
Ibu Arita membuka tas tangan kecilnya yang berwarna merah terang dan mengambil sebuah botol semprotan kecil di dalammya. Ibu Arita menyemprotkan cairan di dalam botol itu ke bagian dalam panci stainless bermotif bunga-bunga kristal. Ia meletakkan kembali panci dengan penutupnya ke dalam keranjang. Ibu Arita harus menunggu beberapa saat sambil pura-pura melihat sabun pencuci piring di rak itu.
“Halo Ibu, sedang mencari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas keamanan menyapa Ibu Arita. Ibu Arita sedikit terkejut.
“Oh…, halo Garti. Saya sedang mencari sabun pencuci piring yang bagus.” Pelan-pelan Ibu Arita memasukan botol kecil itu kembali ke dalam tas kecilnya.
“Apakah sudah ketemu, Bu?” Petugas keamanan mendekati Ibu Arita.
“Masih saya pikir-pikir dulu. Kamu tahu bagaimana ibu-ibu kalau belanja? Terlalu banyak memilih, harus memikirkan harga, merek. Jika tidak begitu…,”
“Oh, kalau begitu, Ibu saya tinggal dulu. Silahkan lanjutkan mencari. Barang-barang di toko kami kualitas terbaik,” petugas keamanan tersenyum dan terlihat terburu-buru meninggalkan Ibu Arita.
“Baik, Gatri. Selamat bertugas!” Ibu Arita tersenyum dan bernapas lega. Ibu Arita kembali berkeliling supermarket sambil mendorong keranjang belanjaannya.
Ibu Arita lalu berjalan mendekati meja kasir tempat pegawai baru berdiri. Pegawai baru itu menyapa Ibu Arita. Ia menunduk sambil mengeluarkan belanjaan Ibu Arita dari keranjang.
“Karyawan baru, ya?” Ibu Arita bertanya dengan ramah.
“Iya, Bu..,” jawab pegawai baru dengan wajah masih menunduk dan muka merah.
“Kamu kenapa tidak melihat saya?” tanya Ibu Arita. Pegawai baru itu terkejut dan mengangkat kepalanya.
“Maaf, Bu, saya malu…,” Ibu Arita juga agak terkejut ketika pegawai itu mengangkat kepalanya.
Jidatnya jenong, rambutnya lepek, matanya kecil, hidungnya pesek, mulutnya yang besar memiliki gigi depan yang seperti ingin meluncur keluar, dan tentunya dia terlihat kurus sekali. Pegawai baru itu juga memiliki bayak sekali bekas luka di wajahnya. Ibu Arita yakin pegawai baru itu sering diejek dan dihajar karena kejelekannya yang luar biasa itu. Memang seperti itu sifat orang-orang di Portul ini, suka menertawakan keburukan orang lain.
Ibu Arita hanya tersenyum. Karyawan baru itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Mungkin dia malu. Karyawan baru itu mengambil belanjaan Ibu Arita dan menempelkannya di mesin scanner. Ibu Arita berkomat-kamit melihat layar. Itu kebiasaan Ibu Arita. Dia selalu menghitung jumlah belanjaannya. Ibu Arita tidak percaya begitu saja pada mesin penghitung cerdas itu.
Ibu Arita menatap si karyawan baru yang sedang sibuk. Dia lalu memegang panci stainless bermotif bunga-bung kristal setelah pegawai baru menempelkannya ke mesin scanner.
“Totalnya satu juta tiga puluh enam ribu Parte, Bu.”
Ibu Arita mengeluarkan dompetnya. Ibu Arita meraba sebentar panci bermotif bunga itu. Dia terkejut, lalu mengangkat panci dan memerhatikan bagian dalam panci.
“Lho… Kok ini pancinya rusak?” tanya Ibu Arita sambil menunjukkan bagian dalam panci ke pegawai baru. Pagawai baru itu memerhatikan panci yang dipegang Ibu Arita. Dia ikut kaget.
“Saya juga tidak tahu, Bu,” jawab pegawai baru.
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu, kamukan pegawai di sini? Tugasmu memeriksa barang yang diterima konsumen!” jawab Ibu Arita. Pegawai baru itu kebingungan. Ibu Arita tidak berhenti bicara. Dia terlihat kesal sekali. Pegawai baru itu hanya diam saja. Ibu Arita akhirnya marah-marah dengan dahsyat, tidak kenal ampun.
“Kamu ini, kalau sudah tahu barang ini rusak, dikasih tahu, jangan diam saja, ngomong dong! Gigimu tuh, ngalangin, ya?” Ibu Arita berkata dengan sadis. Perempuan anggun dan cantik tiba-tiba menghilang. Pegawai baru itu kaget. Dia terlihat sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Ma….maaf, Bu. Sa…sa…saya be..be…nar-benar tidak melihanya, Bu…,” pegawai baru itu menjawab dengan terbata-bata.
“Makanya pakai matamu! Gara-gara matamu kekecilan, ya? Mata digedein dikit dong!” Ibu Arita memaki pegawai baru itu tanpa ampun, seperti angin yang mengamuk.
“Cepat! Panggil bosmu, sekarang!” suara Ibu Arita semakin tinggi. Pegawai baru itu buru-buru pergi ke Sudut Layanan Pelanggan. Karena tergesa-gesa, dia menabrak meja kasir. Semua orang di supermarket itu melihat ke arah Ibu Arita. Ibu Arita tidak memedulikannya.
Tidak lama, menajer toko dan pegawai baru mendekati Ibu Arita. Dia berjalan santai dan pelan. Mungkin karena badannya yang tambun.
“Ah…Ibu Arita. Apa kabar, Bu?” menajer menyapa Ibu Arita ramah. Sebenarnya, ketika tahu kegaduhan itu disebabkan oleh Ibu Arita, menajer sudah malas. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Sudah berkali-kali si menejer dipanggil untuk menangani keluhan Ibu Arita. Suatu kali, karyawan supermarket memberi Ibu Arita stiker undian yang sudah kedaluwarsa. Lalu pernah juga Ibu Arita, si master komat-kamit, menemukan kesalahan dalam perhitungan total belanjaannya. Di lain hari, karena kecerobohan pegawai, telur yang dibeli Ibu Arita ada yang pecah. Di dalam hati, menejer berkata, “ Mungkin kali ini akan lebih parah”
“Pak Menejer, bagaimana, sih, ini? Masa pegawai anda tidak teliti? Saya diberi barang yang rusak,” kata Ibu Arita sambil menyodorkan panci stainless yang rusak tadi. Menejer mengambil panci itu dan mengamatinya. Dia kaget melihat barang yang rusak di tokonya. Bagaimana pegawainya bisa lalai begini?
“Anda tahu, kan, Pak Menejer, ini bukan untuk pertama kalinya. Saya sudah terlalu sering menerima perlakuan seperti ini. Ini sama artinya mengabaikan konsumen. Anda dan toko anda bisa saya laporkan…,”
“Oh, jangan marah dulu, Bu. Semua bisa kita bicarakan. Bagaimana jika kita diskusikan di dalam?” Menejer membujuk Ibu Arita.
“Maksud anda? Anda mau menyogok saya? Ini sama dengan pelecehan!”
“Oh, bukan begitu, Bu..,” Manejer segera memperbaiki ucapannya. “Ibu pelanggan setia toko kami. Kami pastikan hal ini tidak akan terulang lagi.”
“Ah, waktu itu anda juga mengatakan hal yang sama…”
“Sebagai gantinya, panci ini kami berikan gratis untuk Ibu.”
“Anda mau memberi saya panci rusak? Ini penghinaan. Saya bisa telepon adik saya,” Ibu Arita membuka tas kecilnya. Pak Menejer menahan tangan Ibu Arita.
Semua orang di Portul tahu Arita punya paman wartawan terkenal. Dia bekerja di surat kabar terkenal di kota Portul. Berita yang ditulis oleh paman Arita selalu menjadi viral. Jika Ibu Arita melaporkan kejadian ini dan paman Arita menuliskannya di surat kabar, supermarket ini bisa tutup.
“Bukan, Bu…, sama sekali Bukan. Kita bisa selesaikan masalah ini baik-baik. Ibu tidak perlu menelepon adik ibu. Dia pasti sibuk sekali.”
“Dia bisa memberitakan ketidakberesan anda dan toko anda,” kata Ibu Arita.
“Oh, jangan sampai, Bu… Itu tidak perlu terjadi. Ibu tunggu sebentar, ya?” Manejer mendekati pegawai baru dan berbisik. Pegawai baru tergesa-gesa meninggalkan mereka. Pengunjung masih melihat ke arah mereka.
Pegawai baru terlihat membawa kotak panci stainless putih bermotif bunga-bunga kristal. Itu panci baru. Ibu Arita sudah menduganya.
“Begini, Bu, sebagai permintaan maaf kami, produk ini kami berikan gratis untuk Ibu,” kata manejer membujuk Ibu Arita. Ibu Arita melihat kotak itu.
“Tapi kami minta, masalah ini tidak usah ibu sampaikan pada adik Ibu. Bagaimana?”
“Baiklah. Tapi kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi,” ancam Ibu Arita. Manejer tersenyum lega. Ibu Arita juga tersenyum. Rencananya berjalan mulus. Dia memang selalu beruntung.
Dan cairan di botol kecil dari dalam tasnya, namanya Hydrochloric Acid. Ibu Arita meminta bantuan salah seorang temannya yang bekerja di laboratorium universitas. Ibu Arita tidak tahu banyak apa fungsi acid itu, dia hanya meminta bantuan temannya untuk membuatkan cairan yang bisa merusak stainless. Dia beruntung, karena semua orang menuruti semua keinginannya. (AGJ)
Lahir di Padang dekat pantai. Sangat menyenangkan untuk bermain di pantai. Sekarang aku sudah jago berenang. Cita-citaku mempunyai sekolah untuk anak-anak.Tapi sekolahnya berbeda dari sekolah yang sudah ada.
I love it so much!