Sudah menjadi rahasia umum jika dongeng berpengaruh pada perkembangan fisik, intelektual, dan mental anak. Sayangnya, orangtua sering kali mengaku kesulitan meluangkan waktu untuk mendongeng, meski praktik mendongeng sebenarnya sangat sederhana. Selain waktu, persoalan lain yang sering muncul dalam kegiatan mendongeng adalah sulitnya menyajikan cerita yang memberikan pengalaman yang berbekas bagi anak. Ketika kegiatan mendongeng menyenangkan, disukai dan selalu dinanti anak-anak, tanpa disadari, dongeng menjadi media alternatif dalam membangun kedekatan, baik fisik maupun emosional, antara orangtua dengan anak.
Sebagai ilustrasi, bagi orang-orang yang gemar membaca, pasti mengenal H.C. Andersen. Ia dikenal sebagai salah satu sastrawan Eropa abad ke-19. Kita barangkali lebih mengenalnya sebagai penulis cerita anak. Diakui Andersen, kepiawaiannya membangun cerita tidak terlepas rangkaian pengalaman masa kecilnya. Terutama pengalaman kedekatannya dengan ayah, Hans Andersen. H.C Andersen dalam biografinya, The True Story Of My Life (1846), menuliskan, “Seolah ayah hanya hidup untukku. Setiap minggu ia membuat gambar-gambar dan menceritakan dongeng-dongeng.” Selain ayah, ibu Andersen juga mengenalkannya pada cerita rakyat. Andersen tidak lahir dan besar dari keluarga yang literat dan berkecukupan. Ia dilahirkan di kawasan kumuh Kota Odense, Denmark. Ayahnya hanya seorang pembuat sepatu yang buta huruf. Sedangkan ibunya, buruh cuci yang kemudian menjadi pemabuk. Andersen sendiri malah tidak bersekolah.
“Hanya pada saat-saat seperti itulah aku melihat ia begitu riang, karena sesunguhnya ia tidak pernah bahagia dalam kehidupannya sebagai pembuat sepatu,” tulis Andersen tentang kebiasaan mendongeng ayahnya. Pengalaman masa kecil yang kaya dongeng dan cerita tersebut kemudian yang turut andil menjadikan Andersen penulis yang dikenal lewat karya-karya abadi seperti The Thin Brave Soldier ( Prajurit Kecil Berkaki Satu), The Ugly Duckling (Itik Kecil Buruk Rupa), atau Little Match Seller (Gadis Penjual Korek Api). Kisah H.C. Andersen hanya salah satu contoh jika mendongeng bisa menjadi alternatif media untuk berkomunikasi dengan anak dengan mudah, murah, dan efektif.
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa dongeng dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan ketahanan mental anak. Kisah-kisah yang didengar anak dari mulut orangtua akan mengaktifkan simpul saraf dan membuat otak lebih aktif, hingga berimbas pada kecerdasannya kelak.
Sayangnya, persoalan yang sering mengemuka dalam kegiatan mendongeng adalah, sulitnya mendapatkan buku sebagai materi dongeng. Mendongeng tidak perlu dibuat susah. Akses bahan bacaan sudah semakin dipermudah dengan maraknya Taman Bacaan Masyarakat yang bisa dijadikan alternatif untuk mengajak anak membaca sambil bermain atau dipinjam untuk dibawa pulang. Selain itu, berbagai platform buku anak elektronik gratis bisa didapatkan dari perangkat telepon pintar orangtua.
Tapi jika orangtua benar-benar sulit mendapatkan bahan bacaan, segala hal yang bersinggungan dan ada di sekitar anak, bisa kita jadikan bahan cerita. Orangtua diharapkan tidak terpaku pada cerita-cerita dari buku atau cerita-cerita yang terus didadarkan orangtua zaman dulu. Segala benda atau juga manusia di sekeliling kita, bisa dijadikan sumber cerita yang tiada habisnya. Jika sedang buntu ide, orangtua bisa bercerita tentang pekerjaannya di kantor atau cerita tentang pengalaman ibu yang baru pulang dari salon, arisan, atau berbelanja di pasar. Banyak hal positif yang bisa diceritakan dalam bahasa anak yang mudah.
Misalnya, cerita tentang sebuah mangkuk yang cantik sekali. Si mangkuk selalu senang bangun pagi, dicuci bersih, dan berbahagia ketika bubur tersaji dengan taburan berbagai bahann di atasnya. Setelah terhidang, aroma uap panas bubur akan mengharumkan seisi ruangan dapur. Membuat seluruh gelas, teko, dan piring iri melihat si mangkuk karena orang-orang senang menyantap bubur yang tersaji di mangkuk cantik itu.
Meskipun banyak hal yang dapat diceritakan, perlu menghindari kata-kata atau penceritaan yang tidak pantas. Misalkan, kekerasan. Selain itu, ketika bercerita orangtua diharapkan tidak menyampaikan pesan dengan cara menuntut. Misal, anak harus begini atau begitu. Anak cenderung cepat bosan mendengarkan cerita. Apalagi jika mereka merasa digurui bahkan dipermalukan oleh orangtuanya sendiri.
Mendongeng akan lebih menarik jika diberi sentuhan atraktif dari pendongeng. Misalkan, ekspresi wajah, gerakan badan, atau memainkan intonasi suara. Dongeng akan memukau dan hidup. Anak jadi lebih tertarik untuk menyimak, menggunakan seluruh inderanya untuk larut ke dalam cerita.
Bagi yang belum terbiasa, mungkin terdengar sulit. Tapi hal tersebut bukanlah momok. Orangtua hanya dituntut untuk bisa melakukan akting sederhana. Dengan akting sederhana, pesan dari pendongeng akan mudah tertangkap dan dicerna anak-anak ketimbang sekadar membacakan cerita dari buku dengan intonasi suara yang datar.
Ketika menceritakan tokoh badak melompat karena menghindari lubang, misalnya, pendongeng bisa ikut melompat. Mungkin juga ditambah ekspresi yang mendukung dan suara yang tersengal atau sedikit ngos-ngosan. Niscaya anak akan masuk dalam imajinasi tokoh badak tersebut. Agar lebih menarik lagi, upayakan membedakan suara-suara tokoh dalam sebuah dongeng. Hal tersebut akan mengaktifkan indera pendengaran anak.
Satu formula utama yang harus diperhatikan dalam mendongeng yaitu suasana hati. Semua harus disampaikan dengan kasih sayang, karena anak dapat merasakan seandainya kita mendongeng dengan kesal hati atau hal-hal yang membuat ketidakmenarikkan mendongeng bagi anak. Jadi, kapan kita akan memulai mendongeng untuk anak kita? []
assalamualikum…mantap pak
assalamualaikum…. memang media dongeng adalah median pembelajaran yang sangat bagus, smoga para orang tua menyadarinya, ….. mantap pak yudi