Pagi itu berjalan seperti biasa, membosankan bagiku. Dan sudah dua minggu sejak aku masuk jenjang sekolah dasar di tempat yang baru. Aku sering bertanya-tanya, apa sih enaknya sekolah di Jogja? Aku sudah betah di Jawa Tengah: bermain di sawah setiap hari, bersepeda di jalan setapak, atau sekadar bermain ayunan di halaman rumah nenekku. Tapi apa boleh buat, orangtuaku memutuskan untuk pindah rumah karena urusan pekerjaan, yang otomatis kami sekeluarga, maksudku aku dan adikku, untuk ikut ke Jogja.
Semua terasa asing bagiku. Bahkan aku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan teman-teman sekelasku yang bahasa Jawanya lebih medok dibandingaku. Dan sialnya, aku beberapa kata yang teman-temanku ucapkan, aku tidak paham maksudnya. Mereka malah menertawakanku. Menyebalkan sekali, bukan?
Untungnya aku memiliki banyak teman di sini meski awalnya aku tidak menyukai mereka. Mereka semua ramah dan baik dari perilaku maupun tutur katanya. Jujur, di daerah asalku, di Jawa Tengah, logat yang digunakan cenderung ngapak, dan kalian pasti tahu bahwa aksen ngapak terkenal dengan aksen yang ngegas, kan? Mungkin karena alasan itulah dulu beberapa temanku menertawakanku. Tetapi, entah kenapa saat aku berkunjung ke rumah nenekku, aku juga seperti ingin tertawa. Mungkin ini yang dirasakan teman-temanku dulu. Sudah kuputuskan, orang Jogja memang ramah, meski awalnya sedikit menyebalkan bagiku.
Tahu kenapa aku masih ingat persis pengalaman hari-hari pertama setelah pindah ke Yogyakarta itu? Saat membacanya kalian pasti mengira jika aku bercanda. Bagaimana tidak, kejadian yang sudah berlalu 6 tahun kok masih ingat dengan persis? Sejak dulu, aku sudah sering menulis di buku harian. Semua itu bermula karena adanya sebuah benda bernama binder. Anak mana yang dulu tidak mengenalnya?
Saat masuk sekolah dasar, aku memang belum bisa membaca. Aku dulu tidak ikut bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Tetapi entah kenapa, sejak aku bermain binder, rasa ingin tahuku bertambah dan kemampuan membaca serta menulisku meningkat. Kata guruku saat penerimaan rapor. Tentu saja aku ingat karena pernah menuliskannya di binder kesayanganku.
Dan hal itu berlanjut hingga aku kelas 4. Saat itu sedang populer berbagai perangkat seperti telepon pintar dan tablet. Aku diberi sebuah tablet oleh ayah. Betapa senangnya aku, karena di tablet tersebut terdapat aplikasi seperti buku harian. Aplikasi tersebut anti kebobolan dan dibaca oleh orang lain karena harus memasukkan sandi terlebih dahulu jika ingin membukanya.
Aku jadi teringat pengalamanku saat lalai meletakkan binderku di meja belajar. Alhasil, saudara sepupuku pun membacanya. Tanpa perlu menuliskannya, aku tak akan pernah lupa kejadian itu. Aku menangis karena sepupuku itu meledekku. Meskipun setelah itu dia minta maaf, tapi semua rahasiaku sudah dibacanya.
Lama-kelamaan, aku mulai bosan menulis di tablet. Perhatianku sering teralihkan oleh aplikasi game, yang sukses membuat nilaiku merosot saat kelas 4. Akhirnya, di awal semester dua kelas 4, ayah menyita tabletku. Hal itu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh besar buatku. Permasalahannya, aku harus menyalin semua catatan harianku di kelas 4 dari tablet. Tapi daripada catatan harianku tidak lengkap, lebih baik aku salin ulang selagi ayah masih mengizinkanku untuk menggunakan tablet tersebut.
Aku lalu memutuskan mengganti sampul binderku, yang tadinya bertema Barbie dan tokoh kartun menjadi bunga dan sketsa. Pasti malu kalau semisal ada teman yang tahu aku masih menggunakan gambar Barbie. Mereka pasti meledekku habis-habisan.
Ternyata menyalin ulang tak semudah yang kubayangkan. Ada banyak sketsa-sketsa yang lumayan rumit. Oh ya, selain menulis, aku juga suka membuat sketsa dan ilustrasi. Setengah tahun lamanya aku mengandalkan aplikasi, keyboard dan kamera foto. Kemampuan menulis dan menggambarku tentu saja menurun. Sketsa-sketsa yang kubuat ulang menjadi terlihat aneh. Di sini, disebut juga, wagu.
Saat itulah Ibuku menyarankan, mengapa tidak di print saja? Aku menuruti saran Ibu. Sebenarnya, kalimat itu masih terdengar asing di telingaku. Dan ketika aku melihat hasilnya, aku rasanya ingin berteriak, “Kenapa ndak dari kemarin-kemarin, Buk?”
Itulah sepotong kisahku bersama buku harianku. Hanya sepotong kecil saja, Sahabat. Rahasia di dalam binder itu hanya diketahui aku. Jika kalian membacanya juga, kalian mungkin akan meledekku hingga aku menangis meraung-raung seperti dulu. Aku masih menulis hingga hari ini. Aku menulis di binder kesayanganku. Ralat, maksudku binder-binder kesayanganku. Karena saat ini, binderku sudah terkumpul banyak dan akan terus bertambah. Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian menulis catatan harian juga?
Dilahirkan di Purworejo, 26 Februari 2007. Saat ini bersekolah di MTS N 6 SLEMAN
Leave a Reply