Saya punya teman masa kecil bernama Weni. Kami satu kelas ketika di Sekolah Dasar (SD). Kami sama-sama suka menggambar. Satu hal yang unik dari Weni adalah kebiasaannya saat menggambar. Saat pelajaran menggambar, Weni akan selalu keluar kelas, memilih duduk di bawah pohon, lalu menggambar di sana. Ketika saya tanya alasannya, Weni mengatakan tidak nyaman dilihat teman-teman saat menggambar.
Saya lalu teringat kegiatan Sahabat Gorga di SD Negeri Soprayan, Sleman. Ketika kami mengajak anak-anak menggambar di kelas, beberapa anak tidak melakukan apapun. Otak mereka seakan sedang berkeliling, berburu ide gambar. Atau mungkin mereka tidak pecaya diri karena ada kami di kelas.
Ketika saya mengikuti mata kuliah lukis anak, dosen saya, Pak Hajar Pamadhi menyarankan, “Ketika anak menggambar, berdiri dan lihatlah dari belakang anak. Hal ini bertujuan agar anak tidak merasa terganggu.” Kalimat tersebut terkesan sederhana, namun bila dipraktikkan akan berdampak besar bagi anak. Sebagai contoh, suatu hari saya melihat Abinaya Ghina Jamela menggambar. Ketika itu saya banyak bertanya tentang gambarnya. Entah mengapa Abinaya kemudian menghapus gambarnya dan mengganti dengan gambar yang lain. Bisa jadi jika saya melihatinya dari belakang dan menunggunya menyelesaikan gambarnya, saya bisa melihat apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan dalam gambarnya.
Setelah anak selesai menggambar, apa yang terjadi pada karyanya? Ketika di sekolah, guru akan memberi nilai pada anak. Ketika di rumah, orang tua akan mengapresiasi, beberapa mungkin akan mengabaikan. Misalnya saya sajikan gambar di bawah ini, apa yang anda pikirkan? Misalkan anak yang menggambar ini adalah anak atau adik anda, apa komentar anda?

Beberapa orang saya minta berkomentar mengenai gambar ini. Dari 10 orang, 3 orang mengatakan gambar ini menarik, sedangkan 7 orang lainnya sebaliknya. Ketujuh orang tersebut mengatakan gambar ini kurang rapi, kurang jelas, dan berantakan. Gambar ini dibuat oleh Iman, salah satu siswa Afkaaruna Islamic School. Saya tidak tahu apakah orang tua anak ini akan menanggapi dengan baik gambarnya, atau malah sebaliknya. Bila anda termasuk orang yang mengatakan gambar ini kurang menarik, mari kita lihat bagaimana anak ini menggambar.

Mulanya, anak ini menggambar sebuah robot yang memasuki sebuah kota. Robot itu menyerang kota. Bagian sayap kiri, kanan, dan bagian bawah robot itu mengeluarkan api, yang menyambar ke gedung-gedung tinggi di kota itu.

Pemerintah kota marah karena robot ingin merusak kota. Pemerintah lalu mengirim tentara untuk menembaki robot. Pada gambar ini, Iman menggambar peluru yang diarahkan ke robot. Teng baja juga menembak robot dari bawah.

Robot semakin banyak mengeluarkan api. Kota semakin kacau. Tentara dan tank-tank baja diperbanyak. Peluru bertubi-tubi ditembakkan ke robot. Robot lama-kelamaan mulai tak berdaya. Pasukan tentara juga mulai melemah. Pesawat yang berada di pojok kanan atas gambar tampak terkena tembakan api dari robot.

Melihat pasukan tentara semakin melemah, pemerintah mengirim tambahan pasukan tentara. Robot diserang dari semua sisi. Hingga akhirnya robot tak berdaya. Keberhasilan pasukan tentara melawan robot itu ditandai dengan balon bertuliskan ‘yes’ di pojok kiri atas dan tulisan ‘hahahhahah’ di balon bagian kanan gambar.
Mungkin seperti thumbnail tulisan inilah penampakan akhir gambar karya Iman. Saya mencoba memberi sentuhan warna supaya pembaca bisa membayangkan apa yang sebenanya ingin disampaikan oleh Iman. Bagaimana? Bukankah gambar ini jauh lebih kreatif daripada menggambar dua gunung, matahari, dan sawah?
Jauh sebelum saya bertemu dengan Iman dan ia menggambar robot, pada 2017 dosen saya, Pak Hajar Pamadhi, menceritakan pengalamannya mengajar privat lukis seorang anak. Ketika anak tersebut menunjukkan gambarnya pada orangtuanya, di kertas ukuran A3 yang tampak hanya coretan pensil, hitam pekat memenuhi kertas. Melihat gambar itu orang tua si anak bingung, mana mungkin les menggambar berdurasi dua jam hanya menghasilkan gambar hitam di kertas. Bahkan mereka tidak melihat objek gambar yang jelas. Benar-benar hanya seperti kertas yang ditumpahi tinta hitam.
Pak Hajar kemudian bercerita kepada orangtua si anak mengenai proses menggambar si anak. Mulanya anak tersebut menggambar dua pesawat yang saling berhadapan. Pesawat kiri menembak pesawat kanan, pesawat kanan menembak balik. Keadaan semakin memburuk ketika kedua pesawat saling menembak, berkali-kali. Pesawat tersebut akhirnya meledak, langit menjadi hitam pekat. Si anak menggambarkan kejadian meledaknya pesawat dengan mencoreti kertas, hingga kertasnya hitam pekat.
Ketika orang tua tidak melihat proses anak menggambar. Saat anak menunjukkan hasil akhir gambarnya, akan terjadi salah intepretasi. Karena di sepanjang proses anak menggambar, saat itulah anak bercerita. Gambar akhir yang anak hasilkan terkadang tidak mempresentasikan apa-apa. Di sinilah peran orang tua untuk melakukan pendampingan dalam menggambar. Dengan melihat anak-anak bercerita melalui gambarnya, kita jadi paham bahwa gambar anak tidak dilihat dari hasil akhirnya saja, tapi yang terpenting adalah melihat mereka bercerita melalui gambarnya. (*)
Menarik delll👍🏻
keren kak ceritanya