ANIKA SI PAUS PEMBUNUH

Ilustrasi: Anika si Paus Pembunuh Karya Abinaya Ghina Jamela

Seekor paus bernama Anika, berbeda dari teman-temannya yang lain. Meski ia paus pembunuh, Anika paus yang baik hati. Ia tidak suka berburu untuk mencari santapan. Anika lebih suka menu tanaman dan plankton laut. Tapi sesekali ia juga memakan ikan-ikan kecil. Tapi itu juga tidak banyak. Hm, kamu pasti tahu tentang paus pembunuh, kan?

Paus pembunuh berada di rantai makanan paling tinggi di lautan. Sebenarnya paus pembunuh masih berkerabat dengan lumba-lumba. Tapi karena ukurannya lebih besar dari lumba-lumba, akhirnya paus pembunuh masuk ke dalam kelompok paus. Paus pembunuh merupakan mamalia yang sangat cerdas. Mereka hidup berkelompok dan memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Bahkan, mereka memiliki bahasa tersendiri untuk berkomunikasi. Ini berbeda dengan hewan laut lain. Selain itu, paus pembenuh dikenal sebagai predator yang sadis.Bahkan paus pembunuh bisa memakan hiu. Ya, namanya saja paus pembunuh! Tapi Anika berbeda. Mungkin ia lebih tepat disebut paus penyayang ketimbang paus pembunuh.

Suatu hari teman-teman Anika, Lena, Bima dan Leka, mengajaknya berburu anjing laut dan gajah laut. Ini menjelang musim migrasi. Artinya, waktu makan enak untuk kawanan paus pembunuh.

“Hei Anika, mari kita cari mangsa yang lebih besar, enak, dan mengenyangkan,” ajak Bima.

“Bagaimana jika sesekali kita berburu manusia?” tanya Lena.

“Ya, boleh kita coba. Apalagi manusia sering merusak habitat kita,” lanjut Bima.

Anika terdiam lalu berkata, “mengapa kita harus seperti itu?”

“Karena kita paus pembunuh! Kita mamalia paling cerdas dan ganas di lautan,” kata Bima.

“Sudahlah, Bima! Anika itu lemah dan penakut. Dia anak manja. Dia tidak akan kuat mencium bau amis darah di laut,” ejek Lena.

“Iya, Bim. Anika itu paus bayi!” Leka menambahkan. Mereka bertiga menertawakan Anika.

Anika kesal. Dia memasang wajah cemberut. Dia tidak suka dengan ide teman-temannya. Apalagi memangsa manusia. Itu benar-benar rencana yang tolol! Dan dia semakin tidak suka karena teman-temannya selalu saja mengejeknya sebagai paus bayi. Itu menyebalkan!

“Aku sudah kenyang. Kalian saja yang berburu. Aku tidak mau ikut,” Anika menjawab dengan malas dan berenang menjauhi teman-temannya. Ia berenang pulang.

“Hati-hati paus bayi. Jangan lupa minum susu yang banyak, ya,” Bima, Lena, dan Leka tertawa semakin keras mengejek Anika.

Di rumah, Ibunya sudah menungu. Ibunya selalu tahu jika menjelang musim migrasi, Anika sering pulang dengan wajah yang cemberut.

“Hai sayang. Hari yang buruk?” tanya ibu Anika.

Anika langsung memeluk ibunya. Dia menangis sambil menceritakan kepada ibunya jika teman-temannya mengejeknya karena tidak mau ikut berburu.

Ibunya menggelengkan kepalanya, ‘Anika, kamu ini manja sekali. Masa baru diejek begitu saja sudah menangis?” kata ibunya. Ibu Anika tidak suka Anika menjadi paus yang manja dan cengeng.

“Sudah, tidak perlu bersedih mendengar ejekan teman-temanmu. Biarkan saja. Nanti mereka juga bosan sendiri,” Ibu membujuk Anika. Anika mengangguk setuju.

Keesokan harinya, Anika kembali terlihat bermain bersama teman-temannya.

“Hai Anika, kami punya rencana berburu lagi, lho? Kamu masih tidak mau ikut?” ajak Bima.

Anika menggeleng.

“Kamu konyol sekali! Bagaimana mungkin paus pembunuh tidak membunuh? Namanya saja sudah paus pembunuh. Ck..ck..ck….,” Bima mengejek Anika. 

“Psst, Anika sedang diet, teman-teman. Itu sebabnya dia hanya makan plankto,” Lena dan Leka tertawa cekikikan. Anika semakin kesal. Dia lalu mengambil bola dan melempar bola itu dengan siripnya ke arah muka Bima. Bima kesakitan.

“Anika, kamu tidak sopan sekali,” teriak Leka.

“Kalian ingin melihat aku menjadi jahat dan ganas, kan? Itu, sudah aku buktikan pada Bima!” jawab Anika. Bima, Leka, dan Lena tertawa melihat tingkah Anika.

“ck..ck…ck, itu bukan jahat, Anika, tapi penakut!” ejek Bima.

“Begini saja, bagaimana jika kita membuat perlombaan untuk membuktikan jika kamu memang paus pembunuh,” tantang Leka yang dikenal sebagai paus pembunuh cerdas.

“Perlombaan apa?” tanya Anika.

“Bagaimana jika kita berlomba untuk mendapatkan mangsa. Siapa yang paling cepat dan banyak, maka dia juaranya,” ajak Leka. Anika terdiam. Dia agak takut-takut untuk ikut permainan tersebut. Tetapi teman-temannya bilang, Anika harus menerima tantangan tersebut. Jika tidak, mereka akan memberi tahu paus pembunuh lain untuk tidak lagi bermain dengan Anika. Anika terpaksa menerima tantangan itu. Dan perlombaan pun dimulai.

Setelah beberapa lama, Anika kembali menemui teman-temannya. Di sana sudah berkumpul paus pembunuh lainnya. Mereka memasang tampang bosan. Mungkin mereka kebosanan menunggu Anika yang berburu terlalu lama.

“Kenapa sih kamu lama sekali, Anika?” tanya beberapa paus pembunuh. Anika hanya menunduk.

“Mana hasil buruanmu?” tanya paus lainnya. Anika menggeleng. Semua mata menatap Anika heran.

“Aku tidak bisa berburu sendiri. Paus pembunuh itu sebaiknya berburu bersama, bukan?” Anika mencoba berdalih.

“Tidak Anika. Kamu keliru. Paus pembunuh juga bisa berburu seorang diri,” Leka menjawab.

“Bilang saja kamu tidak bisa berburu. Iya, kan?” ejek Bima.

“Lihat teman-teman!  Ada seekor paus pembunuh yang tidak tahu bagaimana caranya memburu dan membunuh mangsa. Bukankah itu bodoh dan konyol sekali?” paus lain tertawa.

Anika Marah. Dia berenang meninggalkan teman-temannya dan kembali ke rumahnya.

Anika melihat ayahnya sedang bersiul-siul santai sambil menonton tv.

“Ayah…,” teriak Anika sambil mendekati ayahnya. Ayahnya kaget dan menatap Anika.

“Ada apa anak cantikku?” tanya ayahnya.

“Aku diejek teman-temanku karena tidak bisa mencari mangsa,” Anika menjelaskan pada ayahnya.

“Hmm, begitu, ya? Memangnya mangsa itu apa, sih?” tanya ayah Anika.

“Mangsa ya, korban atau buruan yang aku dapatkan, lalu aku makan, yah.” Jawab Anika. Ayah terlihat tersenyum.

“Lalu, kamu makan apa?” tanya ayah Anika.  

“tanaman laut, plankton dan ikan-ikan kecil.” jawab Anika.  Ayah Anika mengelus kepala mulus Anika.

“Apakah laut sudah kehabisan tanaman laut, plankton, atau ikan kecil?” tanya ayah.

“Tentu saja tidak, ayah! Mereka masih sangat banyak,” jawab Anika.  

“Kalau begitu, mengapa kamu tidak bisa membawa apa-apa? Bawalah mangsa-mangsamu itu ke hadapan teman-temanmu,” jawab ayah.

“Tapi mereka pasti akan mengejekku, ayah!”

“Anika, kamu adalah seekor paus orca. Meskipun paus orca itu karnivora, tapi tidak masalah jika sesekali ada paus orca yang menjadi vegetarian,” jelas ayahnya.

“Aku tidak vegetarian ayah. Aku juga memakan ikan-ikan kecil,” jelas Anika.

“Nah, berarti tidak ada yang salah dengan dirimu. Lalu mengapa harus malu?” tanya ayah. Anika masih terlihat kesal.

“Tapi aku berbeda dengan teman-temaku, Ayah,” rengek Anika.

“Coba kamu perhatikan siripmu dengan baik,” perintah ayah. Anika memperhatikan siripnya.

“Siripmu tidak sama persis dengan sirip ayah, kan?” Anika mengangguk.

“Nah, itu artinya meski kamu anak ayah, kita punya perbedaan. Begitu juga dengan paus orca. Kamu tidak perlu malu, sayang. Biarkan saja teman-teman mengejekmu. Nanti mereka juga capek sendiri,” ayah menjelaskan pada Anika.

“Jadi, banggalah menjadi dirimu sendiri, Nak. Tidak perlu berpura-pura ganas hanya untuk menyenangkan teman-temanmu,” Anika mengangguk.

“Setiap anak istimewa bagi orangtuanya.”

Anika tersenyum. Dia lega karena ayah dan Ibu tidak ikut menyalahkannya seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.

“Hmm, sepertinya ada yang harus Anika lakukan, ayah,” Anika bergegas berenang meninggalkan ayahnya.

Anika berenang berkeliling. Dia lalu kembali ke tempat teman-temannya membawa hasil tangkapannya.

“Hai kalian, ini hasil tangkapanku,” teriak Anika.

“Sudah kuduga, pasti Anika membawa rumput laut dan plankton. Hei teman-teman, lihat ikan-ikan kecil yang dikumpulkan Anika itu. Mereka sungguh mungil dan lucu-lucu. Apakah kamu benar-benar sedang diet, Anika?” tanya Leka mengejek, dengan seekor anjing laut yang sudah mati di mulutnya. Semua teman-temannya terlihat membawa anjing laut yang terjepit di antara gigi-gigi tajam dan runcing mereka.

“Apakah dengan membunuh seekor anjing laut membuat aku menjadi seekor paus orca? Aku pikir kalian keliru. Tidak peduli apa pun makananku, aku tetaplah seekor paus orca. Karena itu sudah mengalir dalam darahku,” teriak Anika lantang.

“Jadi, sebaiknya kalian berhentilah mengejekku, teman-teman! Itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Paus orca tidak hanya dilihat dari buruannya. Tapi bagaimana mereka hidup di dalam kelompok.”

Anika berlalu meninggalkan teman-teman. Mereka saling menatap dan terlihat bingung (AGJ).

Abinaya Ghina Jamela
Lahir di Padang dekat pantai. Sangat menyenangkan untuk bermain di pantai. Sekarang aku sudah jago berenang. Cita-citaku mempunyai sekolah untuk anak-anak.Tapi sekolahnya berbeda dari sekolah yang sudah ada.