Aku dan Buku

Ilustrasi: Membaca Buku karya Abinaya Ghina Jamela

Teks orasi Abinaya Ghina Jamela untuk acara Kampung Buku Jogja 2019 pada Selasa, 3 September 2019

Assalammualaikum Warrahmatulahi Wabarakatu

Namaku Abinaya. Umurku sembilan tahun. Aku siswa kelas empat sekolah dasar. Kata orang-orang, aku suka membaca. Menurutku, sih, biasa saja. Aku membaca hanya ketika aku suka. Dan aku punya buku-buku yang bikin aku suka membaca.

Jangan tanya buku apa saja yang sudah aku baca. Itu pertanyaan membosankan. Juga jangan tanya siapa penulis kesukaanku. Karena hampir semua penulis yang bukunya aku baca, aku suka. (Tidak semua, ya. Tapi Hampir. Sebab beberapa penulis menulis dengan sangat membosankan)

Aku suka Jin Yong, Steinbeck, Orhan Pamuk, Dickens, Tolkien, Orwel, Ernest Hemingway, Charvantes, Marquez, Umberto Eco, Roald Dahl, Neil Gaiman, Tolstoy, Wislawa, juga eyang Pramoedya Ananta Toer. Mereka menulis buku-buku yang asik dibaca.

Aku suka membaca buku-buku yang membuatku seperti tidak mau melepaskannya. Seakan-akan buku itu magnet yang sangat besar.

Aku suka membaca bukan karena orang tua menyuruh dan memaksaku membaca (Mungkin dulu, iya, sih. Tapi sekarang sudah tidak lagi).

Menurutku, membaca itu menyenangkan. Aku bisa berkeliling dunia, pergi ke mana saja ketika membaca. Aku bisa menjadi apa saja ketika membaca. Aku bisa menjadi detektif, aku bisa menjadi pesilat, aku bisa menjadi pelaut, aku bisa menjadi anak gelandangan, bahkan aku juga bisa menjadi pencuri dan pembohong.

Aku tidak tahu sejak kapan aku suka membaca. Kata bunda, sejak aku berumur lima tahun. Aku tidak ingat buku apa yang pertama kali aku baca. Mungkin buku cerita Disney dan putri-putri.

Jika persedian bukuku habis, aku akan meminta bunda untuk mencarikannya lagi. Jika bunda sedang tidak punya uang, bunda akan mengajakku ke toko buku. Tentu saja bukan untuk beli buku. Kan, bunda sedang tidak ada uang!

Aku betah ada di toko buku. Tentu saja toko buku yang membiarkan aku bebas membaca di sana. Seakan-akan toko buku itu adalah perpustakaan pribadiku.

Aku tidak begitu sering datang ke perpustakaan, hanya beberapa kali saja. Datang ke perpustakaan itu sedikit ribet. Aku harus isi buku tamu, aku harus membuka sepatuku, aku tidak boleh berisik, dan aku juga belum bisa punya kartu anggota.

Di sekolahku ada perpustakaan, tapi koleksinya tidak banyak, hanya beberapa saja yang menurutku menarik. Di perpustakaan sekolah terlalu banyak buku pelajarannya, buku paket. Untuk apa aku membaca buku paket di perpustakaan

Kelasku juga punya pojok baca. Namanya Pojok Literasi. Tapi buku di Pojok Literasi kebanyakan buku-buku bergambar dan teksnya sedikit. Padahal itu di kelas empat. Kata bundaku, sih, tidak masalah. Biar teman-temanku jadi suka membaca. Nanti jika mereka sudah terbiasa membaca, baru dikirimkan novela atau novel anak.

Tapi masalahnya, buku-buku di Pojok Literasi atau Perpustakaanku jarang sekali diganti. Ngg, maksudku, mungkin belum diganti entah satu, dua, atau sepuluh bulan. Bukunya itu-itu saja. Harusnya buku-buku di perpustakaan sekolah dan pojok baca itu diganti terus, biar kami tidak bosan dan jadi suka membaca.

Masa kami harus membaca buku yang sama satu tahun? Jika bapak, ibu, om, tante, punya buku bagus di rumah, bisa diberikan ke sekolah-sekolah. Tapi buku bagus, ya. Perpustakaan sekolah itu bukan tempat sampah.

Bapak, ibu, om, tante, juga teman-teman semua,
Aku pernah membaca sebuah buku, judulnya, Matilda. Buku itu ditulis oleh Roald Dahl. Di buku itu, Roald Dahl menceritakan tentang seorang gadis kecil yang baru berusia lima tahun. Ia diberi nama Matilda. Matilda anak yang sedikit aneh (Aku tidak akan menjelaskan keanehan Matilda. Silahkan dibaca sendiri!)

Semua keanehan Matilda muncul karena dia suka membaca. Matilda membaca banyak buku, terlalu banyak. Dia membaca buku apa saja. Dia juga membaca buku-buku untuk orang dewasa. Bahkan orang dewasa sendiri tidak pernah membaca buku itu.

Tapi yang lebih aneh lagi, orang tua Matilda dan Miss. Trunchbull tidak suka jika Matilda terlalu banyak membaca. Mereka akan melakukan apa saja agar Matilda berhenti membaca. Ya, apa saja! Mereka ingin Matilda seperti anak-anak lainnya, bermain, menonton tivi, diam, menonton tivi, diam, bermain, menonton tivi, diam, begitu selamanya.

Di sini, di tempatku, orang tua sangat suka jika anak-anak mereka membaca. Tapi aku juga tidak tahu, sih, apa yang membuat orang tua suka. Orang tua akan membelikan anak-anak mereka buku apa saja. Tidak peduli anak-anak mereka suka atau tidak.
Orang tua ingin anak-anak punya banyak buku, bukunya tebal, bukunya bagus dan mahal. Anak-anak disuruh membaca. Lalu anak-anak itu difoto. Orang tua memperlakukan anak-anak yang membaca seperti mereka mahkluk asing dari luar angkasa dan baru saja sampai di bumi.

Bundaku kadang juga seperti itu. Makanya aku tidak suka difoto, apalagi ketika membaca buku. Itu menyebalkan. Aku bukan alien.

Tapi yang lebih mengerikan, orang tua mau anak-anak mereka membaca banyak buku tapi tidak suka anak-anak yang terlalu cerewet, banyak bertanya, atau seperti lebih pintar dari orang tua.
Mereka tidak menyukainya, sangat tidak menyukainya.

Katanya, membaca itu bikin pintar? Tapi ketika anak-anak menjadi lebih pintar dari orang tua, tidak diterima. Mereka seperti tidak mau tersaingi oleh anak-anak. Seakan anak-anak yang suka membaca, banyak bertanya, dan menjadi cerewet itu seperti zombie yang akan menggigit mereka. Kan lucu! Tidak semua orang tua, sih! Tapi hampir semua.

Orang tua lebih suka anak-anak yang pendiam, tidak banyak bertanya, tidak banyak protes, menurut apa yang diperintahkan orang tua. Anak-anak seperti itu anak-anak yang baik. Anak-anak kesukaan semua orang tua di dunia. Bukankah itu labil?

Jika begitu, jangan paksa anak-anak untuk membaca dan dibelikan banyak buku. Biar saja anak-anak main dan menonton tivi. Mereka pasti akan lebih banyak diam dan tidak suka protes.

Menurutku, ketika anak-anak terlalu banyak membaca, mereka akan jadi banyak bertanya. Mereka menjadi sangat cerewet, seperti bunyi knalpot sepeda motor di depan rumahku. Berisik sekali.

Lagipula, tahukah bapak dan ibu, terlalu banyak membaca itu bisa sangat mengerikan buat anak-anak? Misalnya saja Matilda. Karena terlalu banyak membaca, Otak Matilda bekerja melebihi otak manusia lainnya. Otaknya sedikit kerepotan. Semacam otaknya sebuah lemari dan terlalu banyak pakaian yang dimasukkan ke dalamnya. Pakaian-pakaian itu berhamburan dan berserakan di seluruh ruangan. Matilda jadi memiliki semacam kekuatan super. Ia bisa menggerakkan benda-benda di sekitarnya. Menurut Roald Dahl, Matilda melakukannya menggunakan kekuatan pikiran. Huuuuuu, mengerikan sekali!

Tapi menurutku, Roald Dahl jauh lebih kejam dan mengerikan ketimbang orang tua Matilda dan Miss. Trunchbull. Ya, Roald Dahl terlalu kejam pada Matilda. Bagaimana mungkin Roald Dahl membiarkan Matilda yang sudah membaca semua buku di perpustakaan kota tapi membiarkan Matilda tidak menulis apapun? Benar-benar mengerikan! Jika itu bunda dan omku, pasti mereka sudah cerewet sekali.

Mereka akan bilang, Nay, kamu mau otakmu meledak? Kamu mau menjadi sinting?

Bunda selalu bilang padaku, otak itu seperti gelas. Membaca itu seperti mengisi gelas dengan air. Jika aku terus membaca, gelasku akan kepenuhan. Airnya bisa tumpah. Airnya bisa mengotori dan merusak semua. Jika kena laptopku, laptopku bisa mati. Jika kena bukuku, bukuku bisa rusak. Jika kena kasurku, aku tidak tahu mau tidur di mana. (Kadang bunda mengatakannya sambil molotot padaku)

Aku harus selalu mengosongkan gelas itu Jadi aku harus menulis. Tidak harus menulis yang serius, sih. Aku boleh menulis apa saja. Suka-suka aku. Kadang aku hanya menulis tentang bunda dan om yang sangat menyebalkan.

Atau…, mungkin Roald Dahl berpikir, anak-anak tidak mungkin bisa menulis, apalagi masih lima tahun?
(Tapi menurutku, Roald Dahl itu sedikit konyol jika berpikir begitu. Anak lima tahun bisa membaca semua buku di perpustakaan kota tapi diragukan bisa menulis? Ini konyol sekali!) Roald Dahl menjadi pembual yang sangat buruk.

Tapi mungkin Roald Dahl tidak mau capek diberi pertanyaan seperti ini, bagaimana mungkin Matilda bisa menulis? Diakan baru lima tahun?
Sebenarnya aku juga sering mendengar pertanyaan itu, Ih, Naya, kamu kok bisa menulis, sih?
Pertanyaan itu seperti menuduhku punya tongkat sihir, lalu membaca mantra, dan aku jadi bisa menulis. Konyol bukan?

Ini bukan Hogwarts! Harry Potter dan Hermione yang cerdas saja tidak bisa menulis meski mereka penyihir hebat di Inggris.
Aku bisa menulis, ya, karena aku menulis.
Jika aku cuma ngomong-ngomong konyol, main tik-tok, aku tidak akan bisa menulis.

Aku bisa menulis karena aku membaca buku.
Aku membaca buku apa saja, apa saja.
Jika aku tidak membaca, aku akan kesulitan menulis.

Ketika aku bingung dan tidak tahu akan menulis apa, aku membaca buku.
Jika aku bosan membaca, aku menulis.
Jika aku bosan membaca dan menulis, aku akan main.

Bunda pernah cerita padaku tentang novel Bumi Manusia karangan eyang Pramoedya Anata Toer.
Novel eyang Pram yang itu berbeda dari karya-karya eyang Pram sebelumnya.
Kalau kata bunda, Bumi Manusia itu agak populer (Jangan tanya aku maksudnya, tanya bunda saja!)

Eyang Pram menulis seperti itu karena selama di Pulau Buru, eyang Pram hanya diberikan buku-buku dan majalah populer, buku-buku untuk remaja. Kata bunda, pemerintah ingin menumpulkan otak dan tulisan eyang Pram. Makanya eyang Pram cuma diberi bacaan yang seperti itu.

Setelah aku pikir-pikir lagi, apakah orang tua juga punya rencana jahat seperti yang dilakukan pemerintah pada eyang Pram?

Ya, biar anak-anak tidak terlalu cerewet dan banyak protes!

Karena eyang Pram itu penulis hebat, tentu saja dia tetap bisa menulis yang bagus.
Tapi bagaimana dengan anak-anak?
Uggh, menyedihkan sekali!

Anak-anak dipaksa banyak membaca.
Tapi anak-anak hanya diberikan buku yang itu-itu saja, buku anak-anak.
Jika anak-anak tidak mau membaca dan jadi rewel, langsung diberikan handphone.
Anak-anak diminta membaca, tapi orang tua tidak pernah membaca.
Anak-anak disuruh membaca tapi tidak boleh banyak bertanya.
Anak-anak disuruh membaca tapi tidak diajarkan bagaimana cara menulis yang baik.

Apakah orang-orang dewasa benar-benar ingin melakukan hal jahat pada anak-anak?
Jika tidak, mengapa mereka bersikap seperti itu?

Bapak, Ibu, Om, Tante, juga teman-teman semuanya,
Aku baru menulis dua buku. Pertama, Resep Membuat Jagat Raya, buku puisi.
Kedua, Aku Radio bagi Mamaku, buku kumpulan cerpen. Aku baru menyelesaikan novelku. Judulnya? Rahasia, dong!

Aku kaget waktu bunda bertanya, Nay, kamu ditawari berorasi di KBJ nanti. Kamu mau, nggak?
Aku bingung. Aku tahu KBJ, tapi aku tidak tahu apa itu orasi (aku salah menuliskan di laptopku jadi orientasi)

Bunda menjelaskannya padaku. Tapi yang membuat aku setuju, karena kata bunda, datuk Saut Situmorang juga pernah beorasi di KBJ dan kata bunda,
Nay, kamu boleh menulis apa saja tentang kamu, anak-anak, buku, orang tua, juga bunda!

Aku senang sekali. Aku tidak tahu mengapa itu penting untuk aku sampaikan. Tapi aku pikir, aku perlu menyampaikannya.

Teman-teman,
Aku tidak tahu apakah bunda benar-benar suka aku mengatakan ini.

Tapi kita harus lebih membaca. Bukan karena orang tua menyuruh dan memaksa kita membaca.

Menurutku, membaca itu menyenangkan.
Jika kamu kesal pada ibu dan ayahmu yang cerewet, membaca saja.
Jika kamu kesal dengan pelajaran di sekolah, membaca lagi.
Jika teman-teman menjadi tidak seru untuk diajak main, lebih baik membaca saja.

Tapi kita sebaiknya membaca buku apa saja yang kita suka.
Bukan hanya apa yang dibelikan oleh ayah dan ibu kita.

Kita harus seperti Matilda. Maksudku bukan benar-benar seperti Matilda.
Kita harus membaca seperti Matilda membaca buku.

Tapi kita juga harus menulis. Anak-anak harus menulis jika tidak mau terlihat aneh seperti Matilda.
Ayo kita tunjukkan pada orang-orang dewasa yang selalu merasa paling hebat dan paling tahu itu!

Selamat siang, semua!
Assalammualaikum warahmatulahi Wabarakatu

Abinaya Ghina Jamela
Lahir di Padang dekat pantai. Sangat menyenangkan untuk bermain di pantai. Sekarang aku sudah jago berenang. Cita-citaku mempunyai sekolah untuk anak-anak.Tapi sekolahnya berbeda dari sekolah yang sudah ada.