Tak Ingin Membungkam Filsuf Cilik

Sumber: Dokumen Sahabat Gorga

Pada suatu malam yang cerah sewaktu aku masih bocah yang belum pandai membersihkan ingus, aku menatap langit melalui jendela kamarku, memandangi benda-benda kecil yang bersinar di atas sana. Aku tidak henti-hentinya mengagumi kecantikan bintang-bintang di angkasa. Setiap kali melihat mereka, aku bertanya-tanya, apakah di sana ada kehidupan seperti di bumi? Apakah di sana juga ada seorang anak yang sedang mengamatiku dari jauh?

Di sekolah, ibu guru selalu mengatakan bahwa makhluk hidup seperti aku hanya ada di bumi. Katanya, tidak ada planet lain yang dapat dihuni manusia. Tapi aku tak pernah percaya apa katanya. Kalau memang benar yang diucapkannya, lalu dari mana asal manusia? Bagaimana manusia bisa menentukan tempat tinggal yang cocok untuk ditinggali? Jika memang tidak ada kehidupan di planet lain, kenapa aku bisa hidup? Dari mana asalku?

Kata guruku lagi, manusia yang hidup sekarang adalah keturunan Adam–manusia pertama di bumi. Adam diciptakan oleh Tuhan dari segumpal lempung. Dulu ia tinggal di surga bersama pasangannya, Hawa, tapi diusir karena memakan buah terlarang. Benarkah demikian? Benarkah Adam diciptakan dari tanah? Lalu bagaimana ia bisa hidup? Ditiupkan roh? Betulkah begitu? Rasa-rasanya, kok, seperti sihir? Apakah Tuhan memang tukang sihir? Lalu, kenapa pula ada buah terlarang? Kenapa buah itu harus ada, tapi tidak boleh dimakan? Bukan, bukannya aku tak pernah tahu soal hikmah di balik cerita itu; bahwa Tuhan menciptakan makhluknya untuk mematuhinya, untuk menuruti perintahnya dan menjauhi larangannya. Bukan. Yang aku tak habis pikir adalah kenapa semua sandiwara itu harus ada? Tunggu dulu. Maksudku, apakah sandiwara itu memang ada, dan memang demikian adanya? 

Suatu hari di bulan puasa, sekolahku mengadakan pengajian. Penceramahnya mengisahkan bagaimana kehidupan di surga begitu menyenangkan. Katanya, setiap hari penghuninya bisa berjumpa dengan Tuhan. Dalam hati aku bertanya, bagaimana rupa atau wujud Tuhan? Tampaknya Tuhan begitu luar biasa, bisa menciptakan semua yang ada di dunia ini. Apakah dia segagah ayahku? Atau seperti ibuku yang penyayang? Tuhan itu laki-laki atau perempuan? Aku begitu ingin menanyakan itu, tapi urung kuajukan sampai waktu pengajian berakhir. Akhirnya, pertanyaan itu terpendam untuk beberapa lama.

Beberapa tahun kemudian, pada suatu siang yang panas, aku mengobrol dengan seorang teman. Obrolan dengannya membawaku pada memori tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Tanpa berpikir panjang, aku tanyakan padanya, “Allah itu laki-laki atau perempuan? Kurasa dia laki-laki kalau dilihat dari namanya.”

Tiba-tiba ada Bu guru menepukku dari belakang. “Tidak seharusnya kalian membicarakan Allah seperti itu. Dia tak berjenis kelamin. Kalian harus ingat itu.”

“Tapi kenapa, Bu Guru?”

“Kenapa? Karena Dia lebih dari seorang manusia. Tidak ada yang boleh membandingkannya dengan makhluk seperti kita.”

“Kenapa begitu?”

“Tidak ada kenapa lagi.”

Ketika aku SMA, pertanyaan mengenai Tuhan muncul lagi. Ketika aku membaca terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, Tuhan diganti dengan ‘He’, kata ganti untuk orang laki-laki. Aku berpikir, apa Tuhan memang laki-laki? Tak ingin memendam sendirian, kuceritakan pertanyaan itu ke temanku. Dia pun jadi ikut penasaran, lalu nekat menanyakannya ke guru kami. Kenyataannya, ia malah disidang oleh guru matematika, agama, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Semakin beranjak besar, aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Setiap kali aku mencoba mencari jawabannya, justru muncul pertanyaan baru. Pertanyaan itu terus bercabang-cabang. Jika aku keturunan Adam, Tuhan pasti menciptakan aku juga. Tapi kenapa aku tidak tinggal di tempat yang namanya surga? Aku tidak melanggar aturan apapun. Aku tidak membangkang pada orang tua atau guru-guru di sekolah. Seharusnya aku tinggal di surga!

Belum lagi, di sekolah dan melalui banyak buku yang aku baca, aku belajar sejarah bahwa manusia dulunya adalah kera, yang terus berevolusi selama jutaan tahun lamanya hingga berbentuk manusia. Aku ingin sekali percaya sejarah itu, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja. Aku ingin bisa pergi ke lorong waktu, mengarungi ruang masa lalu untuk membuktikan kebenaran sejarah itu. Sayangnya, aku tidak bisa.

Belum lagi aku sempat menemukan kebenaran soal asal-usul manusia, aku sudah bertanya-tanya tentang asal-usul alam semesta, tentang ruang dan waktu. Setiap memandang ke langit, selain takjub pada bintang-bintang, aku juga bertanya-tanya, angkasa  batasnya sampai di mana? Adakah semacam dinding di atas sana sebagai batas ruang semesta? Belum lagi ketika aku mendengar soal waktu, yang katanya, di tiap-tiap dimensi, lamanya bisa berbeda-beda. Satu hari di luar angkasa sama dengan beratus-ratus hari di bumi, contohnya. Apa benar demikian? Lalu, dengan alam semesta yang seluas ini, Tuhan di mana? Dia ngumpet dimana?

O ya, maafkan aku kalau bertanya tak sopan seperti itu. Aku  memang sering menganggap Tuhan itu ngumpet, karena, seiring bertambahnya pengalaman, betapa sering aku menyaksikan orang saling membunuh dan anak-anak mati kelaparan. Kalau katanya Tuhan itu Maha Adil dan Maha Baik (ingat, Maha, lho, ya), kenapa itu semua terjadi? Tak bisakah Dia mencegah itu semua? Apakah–seperti keyakinan beberapa pemikir zaman dulu–Tuhan memang “lepas tangan” dan tak peduli setelah menciptakan alam semesta dan segala isinya, layaknya tukang arloji setelah rampung membuat jam tangannya?

Oke, mungkin Tuhan tidak ngumpet seperti yang kubayangkan. Dia mungkin tidak ke mana-mana, melainkan–seperti kata para pemikir lain zaman dulu–Dia adalah alam semesta (dan segala isinya) itu sendiri. Dia mengejawantahkan diri menjadi miliran manusia, menjadi miliran jenis pohon, menjadi miliran jenis hewan, menjadi miliran bintang, menjadi triliunan pasir, menjadi gelas yang kupakai untuk minum, menjadi kasur yang kutiduri, menjadi ibu yang melahirkanku, menjadi ayah yang menafkahiku. Semuanya Dia. Tiada apapun, selain Dia–begitu kata kitab suci. Dia merancang segala hukum dengan begitu rinci, hingga tiada satupun yang meleset dari perhitungan–itulah yang kita sebut dengan hukum alam. Namun kadang-kadang, sebagian manusia mengalami keadian ganjil atau menyaksikan hukum alam itu tidak bekerja dengan “normal”–itulah yang kita sebut dengan keajaiban atau mukjizat.

Sampai sekarang, pertanyaan itu masih selalu kupertanyakan. Aku tak mau membatasi pikiranku untuk bertanya. Dan kelak, jika aku memiliki anak, aku akan membiarkan anakku bertanya apa saja, tidak seperti yang orang-orang lakukan pada anak mereka. Aku tidak ingin membungkam filsuf kecilku. Ya, setiap anak sejatinya adalah filsuf; mereka ingin mempertanyakan apa saja dan dari bertanya itulah mereka belajar tentang banyak hal; melihat dunia dengan cara pandang yang luas dan tak terbatas. (*)

Nastiti
Mahasiswa Jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta