Dikira Lomok dengan meniru akal-akalannya Jalu bisa membuat perhatian Ibunya berubah. Itu tidaklah mungkin karena Ibunya sangat teliti, dan punya prasangka yang kuat. Kedua alis Ibunya akan tampak menyatu jika sedang serius memikirkan sesuatu. Dan Lomok akan menjadi anak penurut jika Ibunya sudah mengeluarkan peringatan lembut begini: IBU ANTAR KAMU KE SIGULAMBAK, YA? Baginya peringatan satu itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Tidaklah sama dengan Guru Paling Galak, atau Polisi yang Suka Memborgol ketika diancam ibu kalian. Ini lebih menegangkan ketimbang mereka. Menurut cerita Ibunya, Sigulambak suka meringkik ketawa seperti kebiasaan kuda, sambil mengikutimu dari belakang saat berjalan sendirian di malam hari. Sangat usil, bukan? Sampai-sampai Lomok tidak mau membayangkan sosok makhluk itu sekilas pun, karena cuma rasa ketakutanlah yang akan melayang-layang dalam pikirannya.
Pada pukul delapan malam suasana kamar Lomok menjelma hutan sunyi seperti dalam cerita Ibunya. Kalian bisa bayangkan adegan pertama ini seperti di layar bioskop yang menayangkan seorang orang tua berumur empat puluhan bersama anak perempuan yang seumuran Lomok sedang menyusuri pinggiran hutan. Kemudian Ibunya duduk di tepi tempat tidur, sementara Lomok berbaring dengan hanya kepala yang menyembul dari dalam selimut.
CERITA PUN DIMULAI.
PERTAMA-TAMA LOMOK MENYUKAI PEMBUKA CERITA IBUNYA.
“Waktu itu Ibu diajak kakekmu menemaninya ke luar kampung, membantu mendirikan rumah yang sudah dipesan saudaranya jauh hari. Kakek dikenal sebagai tukang ukir kayu rumah tradisional. Kamu tahu rumah Batak?”
“Hmmmm… kayak rumah kakek yang di Muara kan, Bu?”
“Ya! Kami berangkat pas pagi buta. Udaranya agak dingin, tapi karena hari itu pertama kali diajak jalan-jalan jauh sama Kakekmu, jadi Ibu menahannya, tidak mau mengeluh. Nenekmu sudah menyiapkan bekal dalam rantang, air di dalam tabung bambu, juga semua peralatan Kakekmu, semuanya dimasukkan ke dalam tas anyaman pandan. Ibu hanya melihat hutan dan ladang selama perjalanan, mendengar burung-burung bernyanyi, tapi malu-malu menampakkan diri. Suaranya bermacam-macam, ada yang merdu, juga yang serak. (Ibunya bersiul-siul sekenanya menirukan kicauan burung-burung itu). Sekali-sekali kami berpapasan dengan pemuda pencari tuak aren, juga menyapa peladang. Sebentar-sebentar Ibu berhenti, terpesona melihat serangga atau kumbang yang aneh bentuk dan warnanya. Kakekmu juga memetikkan buah-buah kecil di sekitar pinggiran hutan untuk Ibu, rasanya macam-macam, manis, kecut, dan wangi, nyam… nyam… nyam…”
LOMOK MASIH TERPUKAU SAMBIL MENELAN-NELAN LUDAH.
“Kakekmu banyak cerita di jalan, biar Ibu tidak bosan. Rumah saudara Kakekmu sangat jauh membikin Ibu terus mengulang-ulang bertanya kapan sampai karena sangat penasaran dengan kampung di sana. Dulu kendaraan tidak seperti sekarang, sangat langka. Kalaupun ada, paling cuma sepeda tua, malah ada juga yang naik kuda, bahkan kerbau. Kami berjalan sudah cukup jauh, matahari pun sudah naik dan terlihat di atas pohon-pohon di hutan. Tidak lama berjalan mulai banyak orang di sana, itu artinya sebentar lagi akan sampai, Kakekmu bilang ke Ibu saat akan memasuki perkampungan.”
LOMOK MENUNGGU-NUNGGU KEGIRANGAN DI WAJAH IBUNYA.
“Ibu pikir ada yang menarik di sana, eh ternyata sama saja. Tapi kamu belum pernah mendengar kehebatan ibu-ibu di kampung, kan? Bayangkan, mereka membawa kantung beras, ember penuh kain cucian, dan seember air di atas kepalanya? Meskipun sedang berjalan cepat, barang-barang itu tidak akan jatuh. Tapi itu sudah biasa Ibu lihat di dekat rumah, juga anak-anak yang bermain rimau langkat, stekka, dan margala. Mereka ramai sekali dan berisik, mirip anak-anak ayam dan induknya yang berlari ke sana-ke sini kayak berkotek-kotek mengorek-ngorek tanah dan tumpukan daun kering untuk mencari ulat atau cacing. Banyak juga babi dan anjing kampung yang mondar-mandir di pekarangan rumah. Nah, kau tahu apa kerja bapak-bapak di sana?” Lomok menggeleng, “sama seperti ayahmu, cuma membual sampai sore di kedai tuak.”
WAJAH LOMOK MENDADAK BERUBAH TIDAK SENANG.
“Akhirnya kami sampai juga. Cuma sebentar saja ngobrol, Kakekmu langsung mengajak saudaranya dan menitipkan Ibu di rumah. Ibu masih malu-malu karena belum terlalu kenal. Rumah baru itu ada di seberangnya, jadi Ibu bisa menemui Kakekmu selagi kerja. Dari siang sampai sore, tangan Kakekmu sangat teliti memahat kayu, juga saat mengukirnya, dan tidak suka banyak mengobrol seperti ayahmu. Kakekmu istirahat cuma waktu makan siang saja.”
LOMOK MENUNJUKKAN WAJAH KESALNYA LAGI.
“Oiya, Ibu hampir lupa. Biasanya ada tempat permandian umum di kampung, di situ juga bisa sekalian mencuci baju dan memandikan kerbau atau kuda di luar. Airnya bisa membuat badanmu menggigil karena mata airnya dari bukit. Jadi, selama di sana, selesai mandi pagi dan sore, Ibu selalu menahan dingin, sampai ingus-ingusan. Nah, karena Kakekmu rajin, pekerjaannya pun cepat selesai, cuma dua hari lebih. Hmmm…. kalau Ayahmu pasti bisa sampai sebulan beres kerjaannya.” Ibunya berlagak menyepelekan. Lomok pun membuang napasnya keras-keras. “Tidak tahu kenapa Kakekmu tiba-tiba saja ingin cepat pulang. Mungkin Kakekmu mengira Ibu tidak betah di sana, dan tak ada anak-anak satu pun yang mau mengajak Ibu bermain. Saat sore itu juga Kakek sudah mengemas semua alat-alat kerjanya. Saudaranya tidak bisa menahan lama-lama Kakekmu sampai hari makan-makan untuk pemberkatan rumah baru itu.”
“Berapa hari pestanya, Bu?”
“Pestanya bisa sampai seminggu, karena harus menyiapkan satu ekor kerbau, memotong dan memasaknya, belum lagi harus memasak ikan arsik, dan lemak babi. Semua warga di kampung itu akan hadir di pesta itu.”
“Kenapa tidak ada ayam ya, Bu?”
“Nah, kata Kakekmu, memotong ayam itu tidak baik karena bisa menerbangkan rejeki pemilik rumah seperti kebiasaan ayam.”
“Kok begitu ya, Bu? Kan, ayam suka cari makan sendiri dan tidak pernah kelaparan. Begitu kata Ayah.”
“Ahhhh…. Ayahmu itu tidak mengerti soal rejeki rumah.”
“Hmmm…. tapi Ayah tidak bilang soal rejeki rumah, Bu?”
“Ahhhh…. sudahlah, masih mau diteruskan ceritanya?”
“Iya, iya, mau, Bu!”
Ibunya menarik napas dalam-dalam.
“Ibu bersama kakekmu pulang waktu langit mulai gelap. Ibu tidak tahu kenapa harus pulang segera. Perjalanan pulang tidak sama lamanya dengan berangkat. Karena malam hari membuat kami jadi hati-hati berjalan. Di langit ada bulan separuh, juga banyak sekali bintang persis bintik-bintik putih di bulu ayam peliharaan Kakekmu. Ayam-Sabur-Bintang sebutannya.”
LOMOK MEMBAYANGKAN PETUALANGAN DI MALAM HARI YANG SERU.
“Jalan di depan agak samar karena ditutupi bayangan pohon-pohon yang tinggi, hanya Kakekmulah yang tahu ke mana arah yang benar. Tidak ada lampu minyak penerang di pinggir sepanjang jalan. Untunglah kakekmu diberikan dua batang obor oleh saudaranya. Kakekmu lalu membasahi gulungan kain di ujung kedua obor itu dengan minyak tanah, dan membakarnya dengan korek api. Selama perjalanan, obor itu menyala, diayun-ayun tangan kakekmu bergantian, turun-naik, begitu terus-menerus, membuat suara api di obor itu seperti sayap ayam mengibas-ngibas. Ibu berjarak selangkah di depan Kakekmu sambil menenteng rantang berisi mi gomak yang dibekali dari rumah saudara.”
LOMOK SEMAKIN MENYIMAK.
“Di sekitar jalan itu terdengar suara jangkrik, rumput-rumput, dan daun-daun pohon yang ditiup angin.” Ibunya menghembuskan napas panjang. “Ada beberapa rumah yang masih utuh atap-atapnya, dan pagar-pagar kayunya, tapi tak ada penghuni satu pun kami temui di situ. Sekali-sekali Ibu dapat melihatnya lewat cahaya obor. Itu dulu bekas perkampungan, kata kakekmu. Itu saja, tak ada lagi lanjutannya. Mungkin kakekmu tidak mau Ibu mengetahui cerita yang sebenarnya.”
Ibunya sejenak mengingat-ingat.
KETEGANGAN PUN DIMULAI!
“Kampung masa kecil Ibu ada di balik bukit hijau saat hari terang. Tapi karena malam hari, Ibu tidak bisa mengenali letaknya di mana. Sewaktu Ibu menanyakannya, Kakekmu tiba-tiba menyuruh diam. Sssssttt…” Ibunya menaruh jari telunjuk di mulut. Padahal sedari tadi Lomok tak bersuara sedikit pun. “Kakekmu mendengar sesuatu,” lanjut Ibunya, “dan kami berhenti sebentar. Api obor bergoyang sekejap dikibas angin, huupp… Tiba-tiba ada suara tertawa meringkik dari arah sebelah kiri di dalam hutan.”
“Suara apa itu, Ayah?” kata Ibunya dalam raut heran.
“Oh, cuma suara kuda,” Ibunya menirukan bicara kakeknya.
“Kuda siapa yang lepas, Ayah?”
“Tidak sekarang ceritanya, ya. Ayo, kita jalan lagi, biar cepat sampai ke rumah.” “Setahu Ibu kuda hanya ada di perkampungan. Tidak di hutan,” Ibunya menerangkan kepada Lomok. “Setelah itu kakekmu tidak menjawab lagi. Dan suara itu terus mengikuti dari belakang. Mendekat… menjauh… mendekat lagi… menjauh lagi… Kakekmu setiap saat menoleh ke belakang, sambil bersuara seperti mengusir anjing atau ayam yang nakal, hus… hus… Ibu makin tidak tenang melihat tingkah kakekmu. Rasanya kaki Ibu ingin lari kencang, tapi kakekmu keburu menegur, Tetap di dekat ayah, Nak! Ibu tidak tahu sedang menghadapi apa. Hanya Kakekmu yang tahu. Ibu menurut, tapi sempat merengek. Ssssttt… Jangan nangis!” Ibunya mencontoh bentakan Kakek. “Berjam-jam Ibu panik, badan sampai gemetar, berkeringat, bernapas tidak keruan, jantung berdebar, dag.. dag.. dag.. dag.. Suara cekikikan itu terus mengejar, kikikikikikikikikik… (bersambung)
Leave a Reply