Gigi bolongnya kambuh lagi. Sakitnya berdenyut-denyut lagi. Dan cerita seram Ibunya tentang ulat-ulat di gigi bolongnya teringat lagi. Sambil merengek, Lomok terbayang gerakan perut ulat pemakan kayu lapuk di kusen jendela kamarnya. Ibunya bertanya bekali-kali, tapi ia tidak mau mengaku. Kau makan permen? Kau makan coklat? tanya Ibunya. Lomok malah mengeraskan tangisan, semakin kencang tapi tak keluar air mata setetes pun.
Lomok tidak jadi sekolah, padahal ia sangat ingin berangkat pagi itu. Ibunya lalu membuatkan surat kepada Guru. Ia membacanya selagi Ibunya menulis di selembar kertas. Kemudian surat itu dilipat Ibunya sampai seukuran telapak tangan, dan diselipkan ke saku seragam salah satu teman kelasnya yang sudah menunggu di depan pintu. Tatang dan Suparno menunjukkan wajah kasihan kepadanya sebelum permisi. Lomok tidak bisa menyembunyikan wajah cengengnya dari kedua temannya.
Biasanya, Ayahnya yang akan menolong, tapi Lomok terlambat mengadu. Ketika giginya kambuh sakit, Ayahnya sudah pamit dari rumah, sekalian mengantar kedua kakak perempuannya ke sekolah di kota. Cara Ayah dan Ibunya sangat berbeda. Ibunya akan mengomelinya lebih dulu dengan pertanyaan macam-macam, sama seperti saat Lomok menemani Ibunya belanja ke pasar. Ibunya suka cerewet dalam menawar apa saja, misalnya antara sayur yang segar dan yang agak layu, tomat yang merah dan setengah hijau, juga cabe yang mengisut dan tidak. Bahkan sampai hal yang tidak masuk akal. Akhirnya Pak Engkos, pedagang langganan Ibunya, kelelahan menanggapi mau Ibunya yang serba irit.
Kecurigaan di mata Ibunya pun terlihat seperti tatapan detektif Conan di film kartun hari Minggu. Dan semakin ia diam, Ibunya malah terus-menerus bicara persis bunyi mesin jahit ketika dikayuh. Tapi bukan berarti Lomok mempercayakan segalanya pada Ayah daripada Ibunya. Untuk urusan mencuci pakaian, misalnya, Ayahnya paling tidak bisa diandalkan. Apalagi urusan memasak, gayanya saja yang tampak luar biasa. Tapi setelahnya, dapur akan berantakan; ceceran minyak, sisa kupasan bawang, hingga tumpukan piring kotor. Lagipula, justru karena Ayahnya masalah pagi ini menjadi ada.
Ayahnya adalah pengacau sekaligus penyelamat baginya. Apakah seluruh ayah di dunia ini sama? Dan kecerobohan Ayahnya yang paling rutin adalah tidak bisa menghentikan bualannya di kedai kopi, begitulah keluh Ibu kepada ia dan kedua kakak perempuannya. Tapi, anehnya, Lomok dan kedua kakaknya tidak bisa dipengaruhi oleh Ibu. Ayah selalu punya daya tarik. Lomok sendiri tidak mengerti mengapa bisa begitu. Malah ia menganggap seolah-olah Ibunya sedang berperan sebagai Sarbada.
Oiya, kembali mengenai gigi bolong tadi. Setiap pulang malam (antara pukul sembilan atau sepuluh), Ayahnya diam-diam menghadiahkan padanya tiga butir permen susu yang berisi taburan kacang. Sambil mendekat ke pinggir ranjang, kedua tangan disimpan di belakang seperti sikap istirahat ketika upacara bendera, perlahan-lahan Ayahnya menundukkan badan. Kemudian menganjurkan satu tangan yang terkepal ke depan, dan tangan lainnya menggantung di atas dengan gerakan seperti menabur garam ke masakan di belanga, hingga membuat genggaman jari-jari di bawahnya merekah seolah permen-permen itu baru saja disulap Ayahnya. Berkali-kali Ayahnya melakukan itu padanya, sehingga itu menjadi trik murahan. Tapi Lomok selalu berpura-pura terheran-heran supaya tak membuat Ayahnya kecewa. Ah, apa Ayah lupa kalau umurku sudah sebelas tahun? gumamnya.
Kata Ayahnya, permen itu hanya dijual di satu toko tua dan sangat jauh asalnya. Ayah mesti melintasi hutan yang berhantu dan gunung kapur di sana, bisik Ayahnya. Jika dilihat dari rumah, tampak gunung kapur itu sebesar ibu jarinya dan menjulang di atas hutan yang tak terkira luasnya. Ayah pasti capek, ya? Ia begitu lugu memuji pengorbanan Ayahnya. Sebelum ia tidur, Ayahnya mendongengkan petualangan luar biasa itu padanya. Tapi Lomok tiba-tiba menggeleng, tidak mau ada hantu dalam cerita.
“Bukan hantu, Nak. Tapi hu-tan yang ber-han-tu.” bujuk Ayahnya.
“Tapi, tetap ada hantunya kan, Ayaaaah?”
“Baiklah, Ayah ganti jadi…….?”
“Ganti monster aja, Ayah?” Lomok memotong.
“Ya, ya, ya. Hutan yang ber-mon-ster!” Ayahnya menuruti.
“Tapi, Ayah tadi bilang hantu hutan, kan, bukan monster?”
Ayahnya berpikir sejenak.
“Nah, kenapa kau tidak takut sama monster. Bukannya monster lebih seram?”
“Monster itu ada yang baik, Ayah.”
“Memangnya, hantu tidak ada yang baik?”
“Dari cerita Ibu, hantu jahat semua, Yah.”
“Ah, Ibu ini memang mirip Sarbada!”
“Ayo, Ayah, cerita Sarbada lagi.”
“Kapan-kapan Ayah ceritakan, ya? Sekarang cerita permen dan toko tua dulu.”
“Mmmm…!” Lomok mengangguk sambil mengulum permen.
“Pagi itu Ayah berangkat kerja lebih dulu. Kakak-kakakmu masih harus sarapan dan menghapal buku pelajaran. Sesampainya Ayah di luar kompleks perumahan, Ayah melihat seekor kelinci gemuk berbulu emas melintas, melompat-lompat, dan masuk ke dalam rumput yang lebat. Ayah pikir mungkin itu hadiah yang bagus untukmu. Jadi, Ayah pun diam-diam membuntuti dari belakang dan menerobos rumput itu. Tinggi rumputnya (sambil memeragakannya dengan mengangkat tangan) seperti menelan tubuh Ayah. (Lalu Ayahnya menarik selimut hingga menutupi kepala mereka berdua) Ternyata ada lorong panjang di dalamnya. Ayah menunduk, memeluk erat-erat tas kerja di depan dada dengan sebelah tangan, dan tangan yang lain menyibak rumput, semakin dalam, semakin sempit. Tercium bau getah, bercampur kulit binatang dan kotoran yang lembap. Sampailah Ayah ke titik cahaya di ujungnya. (Pelan-pelan Ayahnya menurunkan selimut hingga sebatas dada). Ah, rasanya sangat lega ketika Ayah berhasil keluar. Tapi wajah Ayah perih dan gatal semua karena gesekan rumput-rumput itu.”
“Tidak ada ulat bulu, kan, Yah? Ular? Kelabang? Atau laba-laba?”
Mata Ayahnya melirik.
“Tentu ada, Nak.” nada Ayahnya berlebihan.
“Ihhhh…” Lomok bergidik.
“Ternyata di depan Ayah sudah ada jalan berkelok-kelok seperti ular.”
“Seperti ular raksasa?”
“Yaaaaa, ular raksasa yang lagi merayap.” Sambil mengangguk-angguk Ayahnya menggaruk-garuk kulit kepala, tapi tidak gatal sama sekali. “Nah, di samping kanan dan kirinya, ada pohon-pohon besar berdaun lebar yang memayungi jalan berkelok-kelok itu. Banyak ulat bulu juga kelabang, merayap di batang-batangnya. Juga laba-laba yang melamun di sarangnya yang sudah dibuat berhari-hari, seperti kebiasaan kakakmu yang pemalas saat hari libur.” (Bersambung…)
Leave a Reply