Permen Susu Bertabur Kacang dari Toko Tua /2/

Toko Tua karya Della Naradika

“Ayah betul! Kakak tidak akan mau aku ajak main. Bilangnya, capeklah, sudah bukan anak-anak lagi lah. Padahal jujur saja kalau mereka memang malas.”

“Hahahahahahaha.”

“Sssssstttt… Jangan terlalu keras ketawanya, Ayah, nanti kedengaran Ibu.” Lomok menyela.

“Ya, ya, ya… ssssssttt!” Ayahnya pun meniru gerakannya, “oiya, sudah sampai mana tadi ceritanya?”

“Laba-laba pemalas, Ayah!” Lomok antusias, dan mengulum sebutir permen lagi.

“Ulat bulu dan kelabang-kelabang itu membuat badan Ayah geli dan seram. Ayah berjaga-jaga supaya binatang itu tidak jatuh ke pundak, dan masuk ke dalam pakaian. Ayah sempat ingin berbalik pulang, tapi rumputnya, aneh sekali, tiba-tiba tertutup dan mengeras. Terpaksa Ayah melanjutkan mencari kelinci bulu emas itu.

“Apa tidak ada burung, Ayah? Ayah bisa minta tolong burung biar makan kelabang-kelabang itu.”

“Ya, ada suara burung dari jauh, turun mendekat, semakin dekat, dan hinggap. Lalu mematuk kelabang dan ulat-ulat bulu itu, dan membawanya terbang dengan paruhnya. Gerombolan burung lainnya pun ikut membantu. Hore… hore… horeee, Ayah pun berteriak senang sekali.”

“Burung apa yang menolong Ayah?”

“Hmmm… burung Pekela-ulbul!!!” jawab Ayahnya spontan, “ya, ya, Pe-ke-la-ul-bul.”

Hening sejenak.

“Hmmm… nama yang aneh… tapi, warna apa bulunya, Ayah?”

Ayahnya mengedarkan pandangan ke seisi kamar, berlagak mengingat-ingat, dan terhenti pada burung mainan di atas meja.

“Oren. Yaaaa… seperti kulit jeruk sankis kesukaanmu. Warnanya berkilau dan segar waktu terkena cahaya matahari.”

“Dari mana mataharinya?” dahi Lomok mengernyit.

“Hmmm, dari… sela daun-daun lebar itulah mereka masuk ke hutan. Dan mungkin itu sudah jadi kebiasaan burung-burung itu seperti kita sarapan pagi.” Ayahnya nyaris tak bisa menjelaskan. “Anehnya lagi, setiap Ayah menginjak daun-daun kering yang berserakan di tanah, kruk… kruk… kruk, muncul suara bisikan entah dari mana, SIAPA KAU YANG BERANI MASUK KE HUTAN INI! Suara itu memantul-mantul di seisi hutan, sepertinya ada seseorang yang bersembunyi dan berbicara sambil berpindah-pindah ke sana kemari, lalu menghilang begitu saja.

“Hmmm… kurang kerjaan,” sahut Lomok.

“Saking sunyinya,” lanjut Ayahnya, “kau tahu, napas Ayah terdengar sangat jelas seperti bunyi sapu lidi sewaktu Ibu menyapu halaman. Nah, ternyata tidak terasa kalau Ayah sudah jauh di dalam hutan. Dan tiba-tiba, tiba-tibaaaa, kau tahu siapa yang datang?”

“Ya, aku tidak tahu dong, Ayah?”

Ayahnya cengengesan. Ayahnya menoleh ke belakang, seakan-akan ada orang selain mereka di kamar itu. Mata Ayahnya dibuat-buat melotot pertanda cerita akan semakin tegang.  

“Ayah mendengar auman binatang!!! Ayah langsung jongkok di tikungan jalan, di belakang sebatang pohon besar. Ayah tahu itu pasti harimau.”

“Ayah tidak apa-apa, kan? Ayah tidak digigit, dicakar?” sebutir permen lagi masuk ke mulut.

“Ayah pun siap-siap akan memukul muka harimau itu dengan tas kalau tiba-tiba menerkam. Harimau itu muncul. Ayah sungguh tidak menyangka, Haaaaaaaa… Ayah melotot. Kau tahu? Tubuhnya…. setinggi anak kuda dan gemuk. Tapi Ayah lihat mukanya yang garang itu sedang kesakitan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil celangap. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam mulutnya. Pelan-pelan dia menghampiri, lalu duduk di depan Ayah, dekat sekali. Dia menyodorkan mulutnya. Ayah terbengong melihat gigi-giginya yang kejam itu. Ayah langsung terbayang mesin penggiling daging. Sangat mengerikan. Tapi, tak ada niat jahat sedikit pun di wajahnya. Ayah bingung, takut, merasa kasihan.

Ayah menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya, berulang-ulang sampai benar-benar yakin. Ayah gemetar, dan mengulurkan tangan pelan-pelan, melewati giginya, lidahnya yang lebar, langit-langit mulutnya yang bergerigi, sampai ke pangkal rahangnya. Terasa napas hangat di dalam mulutnya. Ayah meraba ada sebatang tulang, kira-kira sepanjang satu jengkal. Dia menggeleng sewaktu Ayah akan mencabut tulang itu, dan gagal. Ayah melihat reaksinya dan mencoba lagi dengan sangat hati-hati. Akhirnya tulang itu lepas, Ayah sangat lega dan senang.

Dia terdiam. Dari sorot matanya, Ayah tidak tahu apa yang dia inginkan. Tiba-tiba dia mendorong perut Ayah dengan hidungnya sampai Ayah terjengkang di tanah. Tahu-tahu harimau itu sudah berada di atas muka Ayah. Ayah pasrah saja, mematung, jantungan, dug…dug… dug… dug. Lidahnya kemudian menjulur keluar, menjilat muka Ayah seluruhnya sampai basah dan lengket karena air liurnya. Yeaaak… baunya seperti daging mentah. Aneh, dia malah bertingkah seperti kucing tetangga kita, menggosokkan wajahnya ke tangan Ayah, lalu berbalik, menunduk membelakangi sambil menggoyang-goyang ekornya. Tidak tahu apa maksudnya. Ayah bingung lagi, bertanya-tanya sendiri, apa maunya ini harimau? Ayah tebak saja. Pasti dia ingin membalas kebaikan Ayah dengan memberi tunggangan. Dia berdiri, dan Ayah pun naik ke atas punggungnya. Ayah langsung memegang bulu di lehernya ketika Ayah hampir terjatuh. Waktu itu Ayah masih tidak percaya sedang menaiki seekor harimau yang besaaaaaaar.”

“Waahhhhh…. Ayah hebat!!!” Lomok setengah teriak.

“Sssssttt… nanti kedengaran Ibumu.”

“Terus, terus, teruskan ceritanya, Ayah!”

“Akhirnya, harimau itu mengantar Ayah keluar dari hutan. Selagi melewati hutan seram itu, bermacam-macam burung hutan di dahan pohon, kawanan kijang di balik rumput, babi hutan, ayam hutan, kambing hutan, tikus hutan, semua mata binatang hutan itu melihat ke arah Ayah. Juga semut-semut merah dan hitam berkumpul di atas batu-batu berlumut, ikut menonton. Sampailah Ayah di padang rumput hijau yang luas seperti karpet raksasa yang digelar. Dia menurunkan Ayah, dan langsung berputar arah ke dalam hutan. Sampai jumpa, kata Ayah sambil melambaikan tangan. Kami berpisah begitu saja.

Ayah melihat sebuah rumah di atas bukit, tampak silau. Ayah pikir itu karena pantulan matahari siang di kaca jendela. Saat berjalan ke sana, rumput-rumputnya bergoyang dan bersuara lembut dihembus angin. Tingginya hampir menutupi pandangan. Di seberang kiri, banyak sapi hitam putih dan sepasang kuda sedang mengunyah rumput, domba-domba mengembik, dan seekor anjing sedang berlari-lari sambil menggonggong. Ayah membaca sesuatu di sebuah papan yang menggantung: SELAMAT DATANG DI TOKO TUA KAMI! Ayah berdiri di teras, memanggil seseorang di dalam rumah. Tidak ada yang menjawab. Ayah menaiki anak tangganya dan melihat sederet stoples berisi permen ditata di rak bertingkat. Ayah mengamati satu per satu dan hampir menyentuhkan hidung ke kaca jendela. Semuanya berisi permen susu dengan campuran masing-masing rasa kacang dan buah-buahan yang dibungkus plastik kecil bergambar lucu dan beraneka warna…..”  

Malam itu Lomok ketiduran melewatkan akhir cerita Ayahnya. Celakanya, ia lupa menyikat gigi. Kebiasaan buruk Ayahnya pun kumat lagi, yaitu lupa pada beberapa hal karena keasyikan bercerita. Ya, Ayahnya benar-benar lupa soal permen di mulut Lomok saat meninggalkan kamar Lomok. Ia malah merasa bangga telah melaksanakan tugasnya sebagai ayah yang penuh kasih sayang.

Nah, andaikan Ibunya mengeluarkan ancaman, satu-satunya jawaban yang ada dalam pikiran Lomok pagi itu adalah Ayah. Tetapi ia masih sekuat hati menjaga rahasia agar Ayahnya selamat. Jelas, ia tak mau hubungannya dengan Ayah berubah jadi benang kusut. Juga tak mau kehilangan permen susu bertabur kacang. Lomok masih merengek kesakitan, sementara Ibunya melangkah kian kemari di dalam rumah sambil bersungut-sungut (dari satu kamar ke kamar lain, menjemur bantal dan selimut, ke kamar lagi dengan memegang sapu, hingga bunyi gemeretak di dapur).

Seperti yang biasa kalian lihat, setiap pagi Ibu kerepotan, mengatur kembali isi rumah supaya tampak seperti semula. Lomok berkali-kali memelas di hadapan Ibunya, mengangkat kedua tangannya dengan gaya menyanjung yang canggung: IBU ADALAH PERI PALING PENYAYANG DI DUNIA! KASIHANILAH ANAK YANG MENDERITA DI HADAPANMU INI, BU!, Ibunya membuang muka menahan ketawa. Lomok hampir kehabisan akal. Untungnya, sewaktu anjing kesayangan keluarganya menggonggong di halaman dapur, ia teringat bisikan Ayahnya ; Kalau kau tidak dipedulikan ibumu, berpura-puralah pingsan seperti Jalu. Ingat! sambil menjulurkan lidah. Dan saat itu juga ia berpura-pura pingsan di sebelah kaki Ibunya, sama persis dengan yang dikatakan Ayahnya. Kamu mau menipu Ibu dengan berpura-pura seperti Jalu. Iya, kan? kata Ibunya. Tak sampai satu menit, mata Lomok langsung membelalak lebar-lebar sewaktu Ibunya bilang akan mengantarkannya kepada Sigulambak.

Nermi Silaban
Punya masa kecil di Rumah Pohon. Aku sangat suka saat musim buah tiba, dan jambu-jambu air itu seperti lonceng yang membuatku gembira.