Meratapi Sulitnya Perkara Tulis Menulis

Sumber: Kerry's Writter Museum

Sebelum menanggapi curhatan seorang guru di hadapan saya, ingatan itu bergulir. Hampir dua dekade lalu, saat saya duduk di bangku SMP, guru bahasa Indonesia saya melempar penghapus papan tulis ke arah saya. Ia marah karena saya (dan teman sebangku) bukannya menyimak ketika ia sedang menerangkan, tetapi, repetnya, malah “asyik berkoyo saja kalian di situ!”

Ini bukanlah memori tentang kekerasan guru terhadap murid. Sama sekali bukan. Ini adalah cerita tentang betapa tak menariknya metode pengajaran bahasa (Indonesia) di sekolah. Waktu itu, kami “berkoyo” (bercerita; mengobrol–istilah yang sering dipakai di daerah saya) lantaran semua yang diterangkan si guru sudah tersaji di buku ajar yang kami pegang. Bukan sekali itu saja kami berkoyo saat ia menerangkan di depan kelas, tetapi memang setiap kali jam pelajaran bahasa Indonesia tiba.

Atas kenakalan itu, nilai bahasa Indonesia kami di rapor waktu itu (saya masih ingat jelas) selalu 6–nilai yang dianggap rendah. Barangkali saat itu nama kami sudah ditandai oleh si guru.

Saya tersenyum kecil saat ingatan itu muncul, sementara guru di hadapan saya masih berbicara. Untunglah kuping saya tetap bisa fokus mendengarkannya.

“Mau ngajarin anak-anak nulis ini susah. Gurunya aja kesusahan kalau nulis. Seringkali kita pas ngomong lancar, tapi begitu mau nulis, buntu,” katanya setengah berbisik. Ia jelas terlihat malu.

“Gurunya, kan, juga produk sistem pendidikan kita,” saya jawab. Ingin rasanya saya tambahi tanggapan saya dengan “makanya wajar kalau gurunya nggak bisa ngajarin siswanya nulis”, tapi saya urungkan, sebab saya tak yakin beliau tak bakal tersinggung.

Pelajaran menulis semestinya memang tidak “dijamak kasar” dengan pelajaran bahasa Indonesia–meskipun menulis termasuk salah satu komponen dasar dalam belajar bahasa. Ya, idealnya begitu. Tapi, mau tak mau, begitulah adanya sistem pengajaran bahasa yang kita punya. Satu-satunya wadah yang bisa diharapkan siswa untuk belajar menulis di sekolah, ya, pelajaran bahasa Indonesia. Mimpi di siang bolong jika ada sekolah di Indonesia yang mau menyajikan secara khusus, misalnya, “Pelajaran Menalar Teks Wacana dan Tulis Menulis”, atau “Pelajaran Keberaksaraan”. Menerapkannya dalam pelajaran bahasa Indonesia saja tidak, apalagi sampai membuatnya menjadi mata pelajaran tersendiri.

Itulah mengapa, ketika guru di hadapan saya ngomong soal tulis-menulis, yang saya ingat adalah momen saat saya dulu mengikuti pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, sebab di sana, sesekali kami memang diminta untuk menulis, entah itu surat, prosa, puisi, dan sebagainya.

Namun, satu-satunya wadah untuk belajar menulis itu harus tergadai oleh pembelajaran yang monoton, yang selalu menekankan teknis-teknis kebahasaan, yang justru muskil untuk membuat siswa bisa mahir menulis. Seingat saya dulu, selama 12 tahun belajar bahasa Indonesia di sekolah (dan ternyata sama saja di perguruan tinggi), tidak pernah kami ditekankan untuk membaca, apalagi menulis. Dipantik saja tidak, apalagi diwajibkan.

Yang harus kami camkan dari caturwulan ke caturwulan, dari semester ke semester, adalah menghafal tata bahasa, sinonim dan antonim kata, penggunaan tanda baca, aturan main Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan hal-hal teknis lainnya. Semua itu tak lain untuk bekal kami ketika menghadapi soal-soal ujian yang selalu berupa pilihan berganda, ataupun menulis kalimat-kalimat atau esai yang telah ditentukan syarat dan temanya.

Untuk menghadapi soal-soal wacana, yang dibekalkan kepada kami bukanlah cara menalar teks melalui pembacaan yang tekun, tetapi trik-trik semisal ‘perhatikan kalimat pertama dan kalimat terakhir’ jika yang diminta adalah mencari ide pokok, atau ‘fokus pada tanda baca’ jika yang diminta untuk mencari kesalahan tanda baca. Alhasil, kami benar-benar wagu dalam perkara membaca, apalagi tulis-menulis.

Satu-satunya masa saat kami rutin diminta untuk menulis adalah ketika SD, tapi itupun hanya sebagai PR selama libur panjang selepas menerima rapor, yang akan dikumpul ketika kembali masuk sekolah. Guru meminta kami untuk menulis pengalaman kami selama liburan; boleh mengarang, boleh berdasarkan kenyataan. Beranjak SMP, apalagi SMA, tulis-menulis pelan-pelan lenyap. Apalagi ketika itu, sedang ada tren bahwa siswa yang keren adalah yang jago dalam pelajaran sains dan ilmu-ilmu eksakta. Di bawah itu bertengger kasta siswa yang jago bahasa Inggris, akuntansi, dan ekonomi. Sedangkan bahasa Indonesia, nyaris tak dianggap ada. Ia hanya dianggap ada ketika menjelang ujian EBTANAS, yang kemudian berubah namanya menjadi UAN, sebelum menjadi UN.

Celakanya, sampai sekarang, model pembelajaran itu tak juga berubah. Adapun gerakan 15 menit membaca buku sebelum pelajaran pertama dimulai, yang bertujuan untuk membiasakan siswa membaca, seperti tidak memberi dampak berarti. Sekolah hanya bergiat jika ada monitoring dari pusat atau perlombaan dan festival, yang justru memberi beban baru bagi siswa, alih-alih ikhtiar untuk membuat Indonesia menjadi bangsa yang literet, yang gemar membaca dan menulis.

Guru di hadapan saya adalah guru SD. Beliau mengajar di SD Negeri Karangmojo II, Gunungkidul. Inti yang saya tangkap selama mengobrol adalah bahwa beliau mengaku kelimpungan ketika menulis. Kesulitan itu berbuntut pada kebingungannya membuat metode pengajaran menulis yang pas untuk anak-anak didiknya. Dampak lainnya adalah ia kewalahan membuat tulisan untuk ditayangkan di website sekolah.

“Cuma dua guru yang nulis. Guru-guru lain sudah saya mintai tolong (untuk menulis), tapi nggak ada yang bisa,” katanya.

Curhatan si guru ini tak pelak semakin memperkuat kenyataan bahwa menulis memang bukanlah aktivitas yang mudah, tak terkecuali bagi seseorang dengan gelar master atau doktor. (Tentu saja menulis yang saya maksud adalah menulis yang benar dan baik; benar menurut kaidah dan tata bahasa, dan baik dalam penyampaian gagasan. Ini belum termasuk menulis karangan sastra, yang menuntut lebih dari sekadar benar dan baik.)

Saya tak bisa memberikan saran apa-apa kepada si guru kecuali sekadar curhat balik tentang harapan saya yang tak kesampaian ketika sekolah dulu. Seandainya waktu bisa diputar ulang, atau jika saya diberi kesempatan menjadi siswa lagi, saya ingin agar guru-guru (terlebih metode pengajaran bahasa Indonesia) tidak lagi menuntut siswa untuk menghafal teknis-teknis kebahasaan, melainkan menggantinya dengan mewajibkan kami, para siswa, untuk mengkhatamkan satu buku setiap seminggu, dan menuliskan ulasannya. Tidak perlu ada ulangan, ujian semester, dan ujian kelulusan, karena kemampuan (nilai) kami tinggal diukur saja dari berapa banyak buku yang kami baca, dan berapa banyak tulisan yang kami tulis (setelah digabung dengan kemampuan mendengar dan berbicara). Ini cocok untuk siswa SMP dan SMA.

Sedangkan untuk siswa SD, saya ingin agar kami diwajibkan membaca buku-buku anak (bisa berupa buku bergambar atau komik), dan minta kami untuk menceritakan ulang buku yang kami baca (bisa dengan melisankannya di depan kelas, atau menuliskannya).

Di luar itu, sebagai penunjang pembelajaran sekaligus untuk bahan penilaian tambahan (ini berlaku untuk semua siswa, dari SD sampai SMA), wajibkan kami untuk menulis catatan harian setiap hari. “Kiat” ini sungguh sangat mujarab untuk membuat diri terbiasa menulis, sepertinya halnya belajar bersepeda. Untuk yang terakhir ini, saya memberi saran bukan di posisi mantan siswa, melainkan sebagai orang yang baru pandai menulis (sekadar bisa, tepatnya) kemarin sore, setelah lulus sarjana. (*)