Membaca dan Belajar Membaca

Seorang kawan dari Medan baru-baru ini mengontak saya melalui WhatsApp. “Bro, ajarilah aku nulis,” katanya.

Si kawan adalah seorang wakil kepala sekolah bidang kesiswaan di sebuah SMA swasta di Medan. Belum genap setahun yang lalu dia memperoleh gelar Magister Sosiologi dari Universitas Sumatera Utara (USU). Gelar itu sangat berguna baginya untuk kenaikan gaji dan tunjangan. Wajahnya terlihat sangat bahagia dalam foto wisuda yang dia unggah di dinding Facebook-nya.

Saya tahu, kawan saya itu tidak sedang bercanda ketika meminta diajari menulis. Dia memang sudah beberapa kali meminta saya untuk mengajarinya ketika kami bertemu. Dia tidak mampu merangkai kalimat dengan benar dan dia sendiri mengakui itu. Tahun 2018 lalu saya sempat membantunya mengedit naskah tesisnya; mengoreksi sintaksisnya, bangunan kalimat-kalimatnya, membetulkan tanda-tanda bacanya, menambahi kalimat dan membuang bagian-bagian tulisan dan data yang tidak perlu.

Saya menolak permintaannya karena saya merasa saya bukan orang yang pantas untuk mengajarinya. Sebagai gantinya saya sering menyarankannya agar banyak membaca jika memang serius ingin belajar menulis. Tapi, ia mengaku sudah membaca banyak buku dan jurnal bahkan sebelum saya sarankan.

“Jangan sepele gitu lah kau. Kaupikir aku enggak suka baca? Di rumahku mungkin sudah ada seribu buku yang sudah kutamatkan,” katanya.

Tentu saja saya percaya apa yang dia bilang. Sebagai orang berpendidikan tinggi, guru pula, tentu saja dia sudah banyak membaca, atau bahkan mungkin setiap hari membaca. Dia sering menyebut nama-nama filsuf dan sosiolog yang belum pernah saya baca karyanya ketika kami nongkrong bareng.

“Lha, terus kenapa kau enggak bisa nulis?” saya tanya balik dia.

“Itulah yang enggak tahu aku. Sulit kali kurasa nulis itu,” jawabnya.

Di lain tempat, suatu hari seorang kawan yang lain, dengan bangga mengaku sanggup membaca novel setebal 400-an halaman hanya dalam waktu dua jam, dengan posisi berdiri pula.

“Novel itu habis kulahap di toko buku itu. Jadi enggak perlu lagi kubeli,” katanya.

Sama seperti kawan saya yang wakil kepala sekolah tadi, kawan yang satu ini juga orang berpendidikan tinggi dan gemar membaca. Dia mendapat gelar sarjana teknik dari USU, dan meraih gelar Master of Engineering dari University of South Australia. Walaupun belajar teknik, ia sangat menyukai bacaan sastra dan telah membaca banyak novel dan cerpen dari pengarang-pengarang besar seperti Gabriel Garcia Marquez, Ernest Hemingway, Albert Camus, dan William Faulkner.

Sayangnya, kehebatannya dalam membaca tidak berbanding lurus dengan kapabilitasnya saat menulis. Beberapa tulisannya yang pernah saya baca mencerminkan bahwa ia bukan seorang “pembaca yang baik” meskipun faktanya ia telah membaca banyak buku, artikel, jurnal, dan lain sebagainya.

Dua kawan yang saya ceritakan ini barangkali (jika bukan memang demikian faktanya) merupakan representasi dari kebanyakan orang yang, walaupun sudah bersekolah (tinggi), tidak mampu menulis dengan baik. Tak jarang dari mereka yang terdistorsi pikirannya saat hendak membedakan antara preposisi dengan imbuhan, kata kerja dengan kata keterangan, subjek dengan predikat, predikat dengan kata kerja, titik dengan koma, dan lain-lain, saat menulis. Kegagalan membedakan ‘di-’ sebagai awalan dari ‘di’ sebagai kata depan sudah terlalu sering terjadi sampai-sampai terasa menjemukan untuk dipaparkan lagi di sini. Akibatnya–ini yang paling sering terjadi– mereka gagal membangun kalimat yang benar, apalagi baik. Sintaksisnya kacau.

Penyakit ini celakanya juga menjangkiti sebagian penyair yang puisi-puisinya berhasil menembus koran-koran nasional dan memenangkan sayembara atau lomba. Mereka bisa menulis puisi yang konon adalah puncak dari keberaksaraan seseorang, tapi mereka gagal menulis kalimat dengan benar saat membuat “tulisan biasa”. Itu jelas aneh, sehingga wajar jika muncul praduga-praduga seperti ‘jangan-jangan mereka menulis puisi cuma karena tak mampu menulis kalimat dengan benar’.

Selain penyair, para wartawan atau jurnalis juga tak sedikit yang mengidap penyakit ini. Kebiasaan menulis berita setiap hari tidak serta merta menjamin tulisan mereka benar secara kaidah dan baik sebagai teks, sekalipun mereka sudah bertahun-tahun melakoninya.

Lalu, apa yang salah dengan itu semua? Ini jelas pertanyaan kompleks yang tidak mudah untuk dijawab, termasuk oleh saya sendiri yang baru belajar menulis beberapa tahun belakangan.

Namun, jika boleh saya berangkat dari pengalaman saya selama belajar, saya ingin mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena mereka, kawan-kawan itu, tidak/jarang “belajar membaca”. Perlu saya tekankan, “belajar membaca” berbeda dari “membaca”.

“Belajar membaca” yang saya maksud adalah aktivitas mempelajari atau memahami rajutan teks bacaan secara saksama saat kita sedang membaca sebuah teks. Dengan kata lain, mempelajari bangunan atau sintaksis teks yang sedang kita baca.

Untuk dapat melakukan aktivitas “belajar membaca” selama membaca, seseorang perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah berbahasa yang baik dan benar. Jika orang itu sudah pernah bersekolah, minimal tamat SD atau SMP, prasyarat yang saya sebutkan ini saya kira bukan “barang mewah”. Hanya saja, lantaran sering atau sudah lama dilupakan, terutama karena tidak ada atmosfer intelektualitas dalam kehidupan orang tersebut, prasyarat itu mau tak mau perlu dipelajari ulang sebelum orang itu “belajar membaca”.

“Belajar membaca” sebagaimana yang saya maksud inilah saya kira yang tidak diajarkan kepada orang-orang di sekolah, sejak dari SD bahkan sampai perguruan tinggi. Anak-anak sekolah memang diajarkan membaca dan diminta untuk rajin membaca, tapi mereka tidak diajarkan untuk “belajar membaca” saat membaca. Para mahasiswa juga dianjurkan banyak membaca, tapi mereka tidak dianjurkan untuk memahami teks bacaan.

“Membaca” versus “belajar membaca” yang saya maksud dalam tulisan ini, bila diredaksikan dengan bahasa yang lebih sederhana, adalah “sekadar membaca” versus “membaca untuk keperluan belajar menulis”.

Saya tidak pernah menyangsikan kuantitas bacaan seseorang, apalagi jika orang itu berpendidikan tinggi. Namun, perihal kualitas (cara) orang itu dalam membaca, terutama jika melihat kenyataan yang ada melalui tulisannya, saya tidak bisa tidak yakin bahwa “ada yang salah” dalam cara orang itu membaca.

Memang, hasil dari “sekadar membaca” memang bukan pepesan kosong. Bagaimanapun, dari banyak membaca, orang akan mendapatkan banyak pengetahuan dan wawasan, dan itu tentu saja baik.

Namun, sekali lagi, berharap mampu menulis dengan baik dengan modal banyak membaca tidaklah cukup. Untuk kepentingan belajar menulis, yang diperlukan bukan seberapa banyak kita membaca, melainkan seberapa tekun kita “belajar membaca”. Dengan demikian, nasihat para penulis yang mengatakan ‘menulis itu membaca dulu’, saya kira sudah bisa dikoreksi sedikit menjadi: menulis itu ‘belajar membaca’ dulu.

Tentu saja yang saya sampaikan ini hanya salah satu jawaban dari pertanyaan besar yang saya sebutkan di atas tadi. Di luar perkara ini, saya kira masih banyak penyebab lain yang membuat seseorang sulit untuk menulis dengan benar dan baik walaupun sudah berpendidikan tinggi. (*)